07

1.4K 101 0
                                    

Jangan memikirkan lagi apa yang telah kau ikhlaskan.
Rasanya tidak sakit, tapi kamu akan semakin terbelenggu.

♡♡♡

Aku menggeliat sembari merenggangkan tubuhku yang rasanya remuk redam. Aku merenggangkan tubuh dengan gaya paling buruk yang pernah disaksikan jin-jin penunggu kamarku dengan cara memutar-mutarkan posisi tubuh, posisi yang selalu kulakukan tiap kali bangun tidur.  Aku akan berhenti apabila kakiku telah berada diatas bantal dengan kepala yang hampir menyentuh lantai.

Aneh dan tidak wajar untuk seorang gadis sepertiku. Beruntung minggu pagi ini, aku dapat menjadi anak yang tahu diri  karena bisa bangun pagi, mungkin setidaknya aku dapat membantu mama sedikit, atau mengacau? Memikirkan itu aku jadi terduduk di ranjang.

Sangat tidak salah sebenarnya Ibu Kartini memperjuangkan hak-hak wanita atau Emansipasi wanita, dimana seorang wanita dan lelaki mempunyai hak yang sama. Tapi yang memprihatinkan didunia ini apabila kata Emansipasi disalahgunakan. Banyak wanita yang kadang melupakan kewajibannya sebagai  seorang istri dan ibu rumah tangga.

Seperti, seorang istri yang kebanyakan ini melupakan tugasnya karena sibuk berkarir mengejar cita-citanya atas nama emansipasi dan melupakan suami. Lantas jika suami meninggalkannya, si Istri malah merasa menjadi korban. Lalu siapa yang salah disini, apakah emansipasi?

Tentunya tidak, Ibu Kartini memperjuangkan hak wanita bukan tanpa alasan. Pendidikan dan cita-cita memang penting untuk wanita, tapi bagaimana pun juga kewajiban atau kodrat wanita tidak boleh dilupakan bukan? Wanita mempunyai kodrat untuk mengurus kebutuhan rumah, apalagi rumah tangga. Jadi walaupun ada seorang wanita yang begitu cerdas, dia tidak boleh melupakan kodratnya.

Bagaimana dengan lelaki? Lelaki adalah kepala rumah tangga dan sudah kodratnya pula menjadi pemimpin.
Yang paling penting adalah, lelaki juga harus menjadi orang yang peka dan selalu mendampingi seorang istri bagaimanapun keadaannya.

Astaga, menurun dari siapa pagi-pagi seperti ini aku memikirkan hal seperti itu? Mungkin juga aku cocok menjadi psikolog atau motivator? Aku terkikik dengan pemikiranku sendiri.

Aku terbangun lalu berjalan kemeja rias untuk melihat penampilanku dicermin.
Aku tertawa lebar saat melihat rambut acak-acakkan ku ditambah muka berminyak, aku sangat mirip singa, ah itu terlalu bagus. Mungkin lebih cocok seperti monster.

"Hhaaamm" Aku mengaum seperti singa. Lalu tertawa sendiri merasa bahwa aku sudah gila. Bercanda dengan diriku sendiri disaat banyak orang yang dapat mengajakku bercanda.

Aku segera berjalan ke kamar mandi tapi sesuatu yang mencuat keluar dari tasku membuatku membatalkan niatku.

Ah, sapu tangan itu.

Aku mengambilnya, membukanya dan merasakan tekstur lembut di sapu tangan yang entah siapa pemiliknya. Aku memperhatikan bordiran-oh bukan- tetapi jahitan tangan sendiri bertuliskan ALD. Siapa?

Aku kembali merasa terseret dalam kepingan masa lalu, yang terus membuatku hanyut dan terbelenggu padahal aku merasa sudah mengikhlaskannya. Aku mendesah lelah, lalu cepat-cepat ku masukkan dalam tas. Kalau-kalau nanti yang punya akan menghampiriku sendiri.

******

"Selamat pagi ma-" Aku berteriak setelah sampai di meja makan, tetapi aku begitu terkejut ketika melihat Surya atau Papaku duduk disana.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now