22

745 67 8
                                    

Tanya pada dirimu sendiri!
Layak kah kamu mendapat bahagia sedangkan yang kamu lakukan hanyalah suatu hal tak bermakna?

♡♡♡

"Al, dengerin gue dulu dong!" Aku mendengar lengkingan memekakkan telinga itu, seorang yang sedari tadi tidak berhenti menarik-narik ujung lengan seragamku.

Aku menatapnya dengan pasrah, membuat yang ditatap seperti itu tersenyum lebar. "Gue mau boker aja lo ganggu."

Anya hanya cengengesan tanpa dosa, aku memutar bola mata malas. "Udah gue bilang gue mau lo dengerin gue dulu!" Ucapnya menyatukan kedua tangan di depan dada sambil memelas.

Huh, hela nafas yang semakin nyaring terdengar. Aku berdecak, "Gak bisa nunggu biar gue buang hajat dulu apa?"

"Lo selalu ketiduran habis ngeden. Lama."

WHAT THE FROG!

WANJIRR

Itu tadi yang bilang mulutnya Anya? Astaga, harusnya tidak sekaget itu. Tidak mengendalikan atau memfilter ucapannya terlebih dahulu, itu adalah Anya.

Aku menggeram padanya dan sudah berniat meninggalkannya jika dia tidak segera bicara.

"Lo dengerin dulu," Anya menghelas nafas pelan, kemudian melanjutkan, "Maafin Ica ya?"

Aku tersenyum sinis padanya. "Kenapa lo yang minta maaf?"

Menjadikan Anya sebagai tameng kah? Seperti itu kah seorang teman, yang hanya bersembunyi dibalik punggung teman ketika dia melakukan kesalahan tanpa berniat mengakuinya? Apa bedanya dengan seorang pengecut?

"Hm, tadi maksud Ica bukan kayak gitu. Di-dia cuman.." Anya menggantungkan kalimatnya, terlihat bahwa dia tidak bisa melanjutkan.

"Cuman apa? Cuman mau ngatain gue?" Desisku datar membuat Anya beringsut sedikit.

"Lo tau, baru kali ini gue bersikap kayak bocah cuma karena omongan Ica yang seharusnya gak gue peduliin sama sekali." Aku mendekat sedikit pada Anya, melembutkan pandanganku sedikit saja.

Siapa tahu Anya paham, aku adalah manusia yang serba kekurangan namun mempunyai harapan sederhana. Yaitu menjalin persahabatan.

Memiliki teman yang berkenan menerima segala kekuranganku tanpa mencari-cari letak kelebihanku. Yang berbangga atas keterbukaannya untuk menerimaku. Sebenarnya, hanya sesederhana itu. Namun dimana aku harus mencari teman seperti itu?

"Harusnya gue nggak peduli, tapi gue nggak bisa bohong kalau gue sangat peduli. Gue mulai percaya kalian," Aku memundurkan diriku kebelakang. Menjaga jarak. "Tapi, kepercayaan itu nyakitin gue sendiri."

Aku kembali menatapnya datar, masih sama ketika Anya mencengkram kedua bahuku pelan. "Jangan kasih kepercayaan sebesar itu Al, lo nggak akan tahu akan dibalas seperti apa rasa lo itu." Anya menatapku sedih, pandangannya melemah.

Aku mengerutkan kening menatapnya, "Kalian sendiri yang bilang bakal selalu ada buat gue," Aku menghentikan ucapanku ketika mendapat pemikiran mengenai situasi ini.

"Oh, atau memang sebenarnya omongan kalian hanya bullshit? Seakan menjanjikan persahabatan paling sempurna, namun didalamnya menghancurkan."

Aku melihat Anya melotot dan menggeleng cepat, "Bukan Al, lo salah paham!" Terlihat Anya menyalahkan ucapanku.

"Salah ketika gue marah sama Ica? Salah ketika gue kecewa karena omongannya?"

Aku menepis tangannya yang bertengger dibahuku. Semakin melebarkan jarak diantara kami seolah kami adalah musuh.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now