30

839 64 2
                                    

Sahabat itu seharusnya seperti bolpoint dan tintanya. Bermanfaat dan nggak terpisahkan

♡♡♡

Terik pagi kali ini menyambut dengan hangat mengiringi perjalanan kami, bersahut-sahutan dengan kencangnya hembusan angin yang membawa debu menampari kami. Aku membuka mata lebih memilih memandangi jalanan dari pada menjulurkan tangan keluar dari kaca mobil seperti yang tengah dilakukan Anya.  Sedangkan Ica masih asyik menyetir dengan mendengar alunan musik Jazz dari Tape.

Seperti aku yang memilih pasrah ditempa angin, bukannya mencari tahu bagaimana rasa angin.

Kami membiarkan kaca mobil terbuka, aku duduk dibelakang dengan Anya dan Ica didepan. Sesekali kami akan bercengkrama atau memikirkan apa yang akan kita lakukan di minggu pagi ini. Semua terasa menyenangkan, setidaknya bagi mereka. Karena, sampai sekarang aku merasakan bongkahan yang mengganjal dalam hatiku, membebaniku dengan pertanyaan-pertanyaan tak berujung.

"Woy Al, ngelamun mulu. Mikirin jorok ya?" Aku tersentak dari lamunanku. Memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Anya.

"Iya."

"Wanjir, se-serius lo?" Kini Anya yang tergagap, sedangkan Ica masih fokus menyetir. "Lo tanya, gue jawab."

"Gila lo, dosa nyung dosa! Nggak takut siksa neraka lo?" Aku menahan tawa saat melihat ekspresi histeris Anya, dia benar-benar terlihat idiot.

"Ngapain dosa, orang gue keinget terakhir kali mandi lumpur. Kan jorok." Kini aku tertawa melihat wajah Anya yang memerah dan menggeram kesal kearahku, seolah sangat siap mengulitiku kapan saja.

"Lo tuh yang jorok, kemarin lo ngintipin roti sobeknya si Toni kan?" Ucapku dengan nada menuduh, aku melipat bibir kedalam menahan kedutan di sudut bibir melihat Anya berkali lipat menjadi idiot, dengan mulut terbuka, gigi agak dimajukan dan mata bulatnya mengerjap.

"Aldaaaa, Si Toni mah mana punya roti sobek, orang dari dada sampai perut isinya gunung semua." Ujar Anya kesal.

Aku sampai tersedak air liurku sendiri saat Anya mengatakannya. Selanjutnya aku tertawa kencang melupakan kalau ini masih dijalanan dengan kaca terbuka, mengabaikan suara tawaku yang mungkin di dengar pengguna jalan lainnya.

Tidak salah Anya berkata seperti itu, karena itu memang nyata adanya. Toni bukan tergolong cowok sexy dengan roti sobek diperutnya, hanya kumpulan lemak-lemak yang tertimbun secara berlebihan.

"Udah, Ica sana lo gangguin! Dari tadi juga diem mulu tuh anak." Ucapku disela tawa.

"Yah si cantolan panci jangan lo ajak ngomong waktu nyetir, makan ati. Di kacang mulu. Tuh anak bakal fokus banget." Aku manggut-manggut mengerti.

Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di kedai es krim. Aku bersorak dalam hati, pasalnya aku sangat suka menjelajahi kedai-kedai es krim, menilik kedai mana yang menawarkan es krim paling nikmat.

Kami bertiga masuk kedalam dengan tenang, mencari tempat duduk paling dekat dengan jendela, agar bisa melihat sesuatu dijalan. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi dijalanan kalau kita tidak mengamatinya dengan seksama bukan?

Ica melambaikan tangannya memanggil pelayan, "Selamat pagi. Silahkan, anda memesan kami melayani." Ucap pelayan tersebut ramah.

Aku melihat menu, "Saya Ice cappuchino, sama es krimnya choco delight nggak pakai toping tambah waffle." Aku tersenyum dan menyerahkan menu tersebut.

"Kami kayak biasa aja mbak." Ucap Ica yang dibalas dengan senyum manis sang  pelayan. Pelayan tersebut mengulang pesanan kami bertiga setelah itu melenggang pergi.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now