Bagian 1 - Sang Tuan Putri

7.5K 548 247
                                    

Kastel itu berdiri kokoh di puncak sebuah bukit yang terjal dengan bebatuan. Bendera-bendera berkibar di ujung menara-menara beratap runcing yang berdiri mengimbangi kegagahan kastel. Dinding tinggi yang membentengi bangunan itu dibangun dari tembok-tembok bata merah yang disusun sedemikian rupa, menjadikannya benteng kokoh demi menghadapi kemungkinan serangan tidak terduga.

Hutan-hutan yang terletak lebih rendah, mengelilingi kastel itu, berbaris acak dan rapat hingga ke bawah bukit. Daun-daun yang menghalangi sinar matahari untuk menerobos—menyentuh permukaan bumi—bergerak sendu mengikuti dansa yang dimainkan sang angin. Kicau dari burung-burung yang entah di mana wujudnya, menghias suasana pagi dengan langit kelabu menyendu.

Kontras dengan suasana di luar sana, seluruh penghuni kastel sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang berlalu lalang ke sana ke mari, keluar dan masuk kastel, bahkan naik-turun dari dan ke pedesaan yang bermukim di lembah, demi menyelesaikan tugas yang semakin menumpuk dan memberatkan saja di hari ini. Lampu-lampu gantung kristal dihidupkan, membantu memberi penerangan lantaran matahari bersinar tak secerah biasanya.

Begitu juga seorang gadis dengan rambut ikal panjang berwarna coklat gelap. Sayangnya, meskipun semenjak membuka mata gadis itu sudah sibuk, belum ada satupun dari kewajibannya yang terpenuhi. Justru membuat pekerjaan baru bagi orang-orang kastel. Membuat kerepotan. Terbukti dari seorang wanita bertubuh tambun yang tergopoh-gopoh mengejar di belakangnya dengan wajah menahan ledakan emosi sekarang ini.

"Putri! Behenti mengacak-acak! Yang Mulia bisa mengamuk jika segalanya berantakan hingga dia tiba nanti!" seru wanita itu. Kedua tangannya menggenggam rok di sisi-sisi tubuh, mengangkat gaun hingga betisnya yang sebesar gelondongan kayu bakar terlihat, hanya demi bisa mengejar sang tuan putri.

Gadis bergaun biru langit yang menjejak lincah koridor dengan kaki telanjangnya hanya tertawa-tawa. Bercak merah menoda di mana-mana. Bukti maha indah atas kekacauan yang dibuatnya dengan menumpahkan segala minuman yang siap dijamukan untuk acara siang nanti.

"Biarkan tua bangka itu melihatnya, Herp! Dia marah? Justru itu yang aku cari!"

Tawa kembali menggema di sepanjang koridor. Tangan gadis itu terulur. Tanpa menghentikan lari, dia menarik lepas temali yang membentuk simpul, penahan gorden berat penutup jendela besar. Membuat koridor mendadak gelap begitu saja. Hanya remang yang berasal dari beberapa kandil lilin yang masih hidup, sementara yang lain sudah mati sejak pagi.

Herptper, seorang wanita berbadan tambun yang menjabat sebagai kepala pelayan kastel barat itu berhenti, terengah. Perutnya saja bergelambir entah lapis berapa, bagaimana bisa dia sempat optimis mampu mengejar sang tuan putri yang mempunyai tubuh sekerempeng lidi. Lelah menghantam dada, membuatnya menyerah mengejar sang pengacau.

Sementara itu, sang tuan putri masih lincah berlari. Gesit kakinya menuruni tangga-tangga pendek, melintasi aula pesta yang sudah hampir siap dipakai pesta dansa. Mencabut sebuah bunga yang dipasang rendah di dekat pintu, gadis itu kemudian melangkahkan kakinya keluar ruangan. Rumput-rumput hijau lembut sontak menyambut, menggelitik kedua telapak tanpa alas kaki.

"Putri Alka! Perhatikan langkah Anda!"

Gadis itu, Alka, berhenti mendadak saat mendengar seruan renyah yang tak asing baginya. Dia menoleh penuh, mendapati Chris—penjaga kuda istana—sedang bermain busa dengan salah satu kuda tak jauh dari istalnya. Alka mengangkat salah satu tangan yang menggenggam bunga, melambai tinggi.

"Jangan khawatir! Rumput tak sanggup melukaiku!" balas Alka dengan seruan. Dia tertawa melihat Chris melebarkan senyum memaklumi tingkahnya, lalu kembali berlari. Memutari luas kastil dan mencapai halaman belakangnya.

Gadis bernetra coklat terang itu terengah sesaat. Dia memandangi bunga di tangannya, lalu membuangnya dengan kasar. Menahan umpatan dan mata yang memanas, cepat-cepat dia menuju ke balik sebuah dinding rumput tinggi. Jatuh terduduk di celah antara dinding rumput dan tembok bata kastel. Jatuh tertunduk tak jauh di depan pohon besar tua yang akar-akarnya membesar hingga keluar dari bumi.

Dengan kedua tangan, Alka menutup wajah. Bahunya naik turun. Dia terisak. Tak butuh waktu lama hingga Alka kehabisan napas, membuatnya kemudian mendongak. Rakus mengisi dadanya yang sesak. Dan tangisnya kemudian pecah, hingga wajahnya benar-benar basah. Alka menangis layaknya anak kecil, setelah entah berapa lama dia hanya berusaha menahan tangis diam-diam dengan mengeluarkan air mata tanpa suara.

Alka benci ayahandanya. Alka benci posisi ayahandanya sebagai seorang raja. Alka benci posisi dirinya sendiri sebagai seorang putri.

Bagian mana kesalahan dirinya saat dia hanya mencoba belajar berkuda? Meski tak pernah mengatakan jawabannya, Alka pasrah menuruti ayahanda, berhenti memaksa Chris mengajarinya menunggang makhluk itu.

Pasal manakah yang melarang wanita memegang pedang? Busur dan anak panah? Meski tak pernah menemukan jawabannya, Alka juga sudah berhenti diam-diam mencuri busur milik para ksatria yang kadang menyimpannya sembarangan di dekat gudang.

Larangan apalagi yang pernah Ayahanda ucapkan? Dilarang tidak memakai korset? Dilarang cemberut? Dilarang mendengkus? Dilarang mengucapkan kata kasar? Dilarang makan hingga kenyang? Dilarang berlari? Dilarang membungkuk terlalu dalam? Dilarang mendongak? Dilarang melirik?

Larang saja Alka melakukan semuanya, Ayahanda!

Raungan itu ingin sekali Alka perdengarkan pada dunia. Tetapi tertahan di tenggorokan, hanya mampu menjerit dalam hati. Dan, setelah semua larangan itu, apa yang Alka dapatkan? Tidak ada. Hanya perintah.

Perintah menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan untuk belajar. Perintah berlatih berjalan dalam satu garis lurus dengan piring-piring dan cangkir di atas kepala. Perintah untuk terus tersenyum tiga jari dengan punggung tegap dan korset yang terpasang erat. Perintah memegang gagang cangkir dengan tiga jari dengan jari jempol menahan bagian atas gagang dan jari kelingking diluruskan.

Perintahkan saja Alka melakukan semuanya, Ayahanda! Apa gunanya?! Coba katakan apa gunanya itu semua?! Apa pula guna mengetahui apa fungsi sendok yang lebih besar dan sendok yang lebih kecil?! Bukankah semuanya berfungsi sama saja untuk menyendok makanan?!

Dan setelah semua yang begitu mengekangnya, bahkan Ayahanda masih menuntut Alka untuk bertunangan? Oh, sempurna sekali untuk melengkapi segala sandiwara di hidupnya. Bertunangan dengan pangeran yang mungkin sudah lupa cara memegang pedang? Tak tahu bagaimana caranya menguliti hewan hasil buruan?

Demi meja kerjanya yang hanya penuh dengan pekerjaan, matilah saja sana pangeran itu dengan tumpukan perkamen dan bisnis yang membuat kepala Alka mungkin akan meledak jika memikirkannya. Menikahlah sana dengan uang, harta, emas, dan takhta. Juga, tenggelamlah saja sana ayahandanya dengan wilayah teritori dan politik yang membuat otak Alka mendidih setiap mendengarnya.

Alka mengepalkan tangan. Wajahnya yang lengket karena air mata yang mengering, mendadak mengeras dengan sorot mata tajam. Dengan sebelah tangan, dia meninju dinding rumput di sisinya. Membuat beberapa helai hijau segar berjatuhan dan mendarat di rambut sepunggungnya.

Persetan dengan kemewahan. Yang Alka butuhkan hanyalah satu, sebuah kebebasan.[]

|°|°|

Masih di scene yang sama dan dengan alur yang sama. Nggak ada perubahan berarti, selain sedikit perkembangan (dari yang cuma 500an word, jadi dua kali lipatnya xD). Tapi semoga lebih enak dibaca :3

Kita ketemu lagi, pembaca lama (kalau baca lagi).
Dan, selamat datang, pembaca baru.

Versi revisi dari Tentara Langit #1, semoga bisa dinikmati.

260918-rev

[Para] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang