5.1

598 149 65
                                    

Ath menghampiri Zeeb yang terlihat berjalan keluar dari perkemahan Karo. Hari sudah hampir pagi, langit timur juga mulai berubah putih, tapi baru sekarang Zeeb keluar setelah dipanggil tadi malam.

“Zeeb, ada masalah?” tanya Ath.

Tapi Zeeb tidak merespon, malah melewatinya begitu saja. Membuat Ath mengernyitkan dahi.

Zeeb memang orang yang tak acuh, tetapi dia tidak pernah benar-benar tak mengacuhkan orang lain.

Dan tatapan mata Zeeb yang barusan Ath lihat secara sekilas, tampak tidak bisa diartikan. Sudah lama sejak Ath terakhir kali mendapati Zeeb dengan tatapan yang seperti itu, mungkin bertahun-tahun lalu, saat kematian bapaknya. Tatapan yang kosong, tajam, bimbang, dan penuh emosi di saat bersamaan. Entahlah, tidak bisa dijelaskan.

Ath menatap tenda Karo yang tertutup rapat. Sebenarnya, apa yang terjadi di sana? Apa yang terjadi pada Karo dan Zeeb? Tidak. Lebih tepatnya, apa yang terjadi pada Karo, dan apa hubungannya dengan Zeeb?

“Ath! Kemari! Bantu buat api!” Ath menoleh saat mendengar suara bapaknya memanggil. Dia menatap ke arah hutan yang sudah menelan tubuh Zeeb sekali lagi, sebelum kemudian bergegas mendekat ke asal suara yang memanggilnya.

“Rusanya?” tanya Ath.

“Baru dicuci dagingnya di kali. Tanduknya ada di bawah beringin,” jawab bapak Ath.

“Aku mau pergi bantu cuci daging saja,” ucap Ath, lalu pergi meninggalkan bapaknya yang berkutat dengan batu dan kayu, sibuk menyiapkan api.

Hasil perburuan memang dibagikan untuk persediaan makanan di kampung. Yang memburunya, mencucinya, membagi, mengawetkan sisanya, semua mempunyai personel masing-masing. Tetapi tidak jarang di antara mereka mengambil peran ganda jika sedang luang.

Ath kembali menatap ufuk timur yang semakin terang. Hari sudah benar-benar datang. Waktu makan pagi juga sudah hampir tiba, tapi belum ada satupun daging yang terbagi. Apa yang dilakukan teman-temannya sebenarnya?

“Ath.”

Ath berhenti melangkah saat mendengar suara polos yang dia kenal dengan baik. Dia menoleh, mendapati sesosok bocah tengah menguap lebar setelah menyerukan namanya.

“Ath lihat Zeeb?” tanya Aus. Dia berjalan mendekati Ath sambil mengucek matanya.

“Aus sudah bangun?” Ath berlutut, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Aus.

“Zeeb tidak pulang semalam,” ucap Aus sebelum kemudian sekali lagi menguap lebar. Ath menepuk puncak kepalanya pelan.

“Dia tidak apa-apa. Tadi aku melihatnya keluar. Sekarang kembali, tidur. Nanti kalau Zeeb pulang, kamu tanya kenapa. Mm?” kata Ath halus. Aus mengangguk, lalu berbalik dan segera kembali ke perkemahannya.

Ath tersenyum menatap punggung kecil Aus yang menjauh. Dia menoleh, menatap hutan sekali lagi, sebelum kemudian segera kembali bergegas menuju kali.

|°|°|

Zeeb berjalan lunglai, menyibak semak-semak yang mencapai tinggi betisnya. Hari sudah semakin terang, namun kegelapan masih tetap sama di tempat ini. Hutan Dalam. Entah bagaimana dan sejak kapan Zeeb sampai di Hutan Dalam.

Zeeb mengambil napas, lalu membuangnya dengan berat. Dia sudah menduga ini akan terjadi. Zeeb sudah berfirasat meski ratusan kali dia mencoba menangkalnya dengan berbagai kemungkinan yang bisa dia pikirkan. Tapi ini terlalu cepat, dan Zeeb tidak siap. Zeeb adalah seorang perempuan, dan terlebih lagi, umurnya belum ada dua dasawarsa. Tapi Karo sudah memutuskannya.

Menjadi kepala perkampungan.

Zeeb bisa maklum, berhubung Karo juga sudah beranjak sangat tua. Rambutnya sudah putih semua dan banyak yang rontok. Karo juga nyaris tidak bisa berdiri lagi dari duduknya, kecuali jika dibantu. Memang pantas jika Karo memilih pengganti di usianya yang sudah sangat senja.

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now