4.1

746 175 55
                                    

“Ini gila!”

“Jaac, dari mana?” Bon bergegas mengikuti Jaac yang berjalan cepat dan dengan tak acuh melalui dirinya begitu saja, tampak berantakan dan tidak karuan. Keduanya keluar dari lorong berdinding alumunium, tiba di salah satu jembatan-jembatan transparan yang bermuara pada lantai bening yang luas, tempat kantin berada. Di bawah mereka, alat-alat elektronik yang masih dalam tahap percobaan tampak semrawut memenuhi aula lantai satu, dan alat-alat lainnya tampak terbang bersliweran—itu juga masih uji coba.

“Mana Areta?” gumam Jaac, masih tidak menghiraukan keberadaan Bon yang berusaha membersamai langkahnya.

“Jaac!”

Jaac dan Bon berhenti saat terdengar suara seorang perempuan yang mereka kenal. Perempuan itu berlari mendekat, kemudian menyerahkan sebuah sebuah suntikan yang terisi cairan. “Ini bius yang kamu mau,” katanya.

Jaac langsung menyambar benda itu, menyuntikkannya ke pergelangan tangan kirinya. Dia lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil, membuka kulitnya sendiri, mengambil chip di sana, kemudian menjatuhkannya, menginjaknya hingga muncul listrik dan membuat chip itu gosong.

“Jaac! Apa-apaan?!” seru Bon. Sementara Areta segera menarik tangan kiri Jaac, memekik tertahan.

“Kamu membukanya terlalu dalam. Oh, sial.” Areta bergegas menyentuh pergelangan tangan kiri tempat chipnya tertanam, memuncul semacam layar hologram kecil di telapak tangannya. Perempuan itu segera memberi perintah kepada robot yang sudah dia tandai agar segera datang.

“Jaac, kamu sudah tidak waras?!” Bon menarik bahu Jaac, membuatnya berbalik sehingga keduanya berhadapan.

“Aku?! Tidak waras?! Tanyakan saja pada ayahku! Kenapa dia membuatku repot-repot datang ke gedung astronomi divisi tiga bagian barat hanya untuk memintaku menghitung jejak radar yang berhasil mereka rekam?! Aku ini fisikawan! Fisika! Kenapa aku harus ikut-ikutan dengan misi konyol mereka menghitung kecepatan cahaya dari ledakan bintang yang aku bahkan tidak tahu apa namanya?!” sembur Jaac dengan mata penuh emosi.

Earphone yang terpasang di daun telinga Jaac tiba-tiba berkedip dan terdengar suara bunyi bip. Bola mata Jaac bereaksi, bagian luar korneanya berputar setelah menyala biru, kemudian dari pupil, muncullah hologram biru di hadapan Jaac dan menampakkan sesosok laki-laki.

Halo, Jaac. Apa kabar? Sedang sibuk? Kami butuh bantuan.”

Jaac menggeram. “Aku tidak tertarik pergi ke belahan bumi lain!” teriaknya, lalu melepas earphone di telinga, juga segera mengeluarkan softlens yang melapisi bola matanya. Laki-laki itu mengembuskan napas kesal, memutar bola mata, tampak menahan amarah.

Suara bip pelan yang terdengar di telinga Bon membuat Bon segera mengejapkan mata. Setelah softlens-nya otomatis memulai sistem, muncul sosok Profesor Tanaka dalam layar hologram milik Bon, membuatnya segera menunduk untuk memberi salam.

Kenapa Jaac tidak bisa dihubungi?” tanya Profesor Tanaka tanpa basa-basi.

“Katakan pada tua bangka yang satu itu kalau aku sudah muak!” Salah satu tangan Jaac bergerak cepat memotong layar hologram di depan wajah Bon, membuat sang kawan tersentak. Layar hologram kacau sesaat, sebelum kemudian tertata ulang dengan cepat.

“Err, maaf, Prof. Sepertinya Jaac sedang emosi sekarang ini,” kata Bon sembari menggigit bibir. Beruntung dia selalu mematikan fitur yang membuat orang lain bisa ikut terlibat dalam obrolannya, membuat Profesor Tanaka tidak perlu mendengar ucapan mengerikan yang baru saja Jaac lontarkan. Bon melirik, menatap pemuda itu yang kini tengah marah-marah dengan Areta yang berusaha mengobati luka di tangan Jaac setelah sebuah robot terbang mendekat.

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now