2.3

1.2K 256 81
                                    

Elsi merapikan kemeja putih seragamnya, lalu menoleh ke arah pintu yang ada di samping pintu kamarnya. Masih tertutup, tentu saja.

Gadis berponi rata itu menghela napas, kemudian menatap amplop yang dia bawa. Surat ijin ketidakhadiran Elga ke sekolah untuk hari ini, dan dua hari ke depan. Lukanya parah, mungkin butuh tiga hari untuk Elga agar benar-benar bugar lagi.

Elsi mengangkat kepala ketika mendengar bunyi bel, mengejapkan mata. Dia lalu bergegas menuruni tangga dengan perasaan ragu. Sudah lama sekali rumah ini tidak kedatangan tamu. Entah seberapa lama, sampai gadis itu lupa bahwa rumahnya memiliki bel yang memang sudah seharusnya bisa berbunyi kapan saja.

Elsi meletakkan tas dan amplop surat ijin di meja dapur, lalu menyusuri lorong pendek untuk menuju ruang tamu. Bel berbunyi lagi, membuatnya segera mempercepat langkah menuju pintu depan yang juga sudah lama tidak terbuka. Pintu penghubung garasi dengan loronglah yang biasa menjadi pintu keluar masuk keluarganya selama ini. Semenjak mamanya pergi.

Gadis itu memutar kunci, lalu membuka salah satu dari dua daun pintu dengan perlahan. Sedikit berat, mungkin karena terhalang debu dan engselnya sudah berkarat. Keningnya mengernyit tipis mendapati seseorang menyambutnya dengan pakaian asing yang tidak pernah dia lihat.

Netra Elsi menatap intens pria itu, memperhatikannya dengan saksama, yang jujur saja, penampilannya mengingatkan pada pangeran-pangeran Eropa dengan pakaian kebanggaannya.

“Benar ini rumah keluarga Wirasana?” tanya pria itu disertai wajah ramah meski tanpa senyuman. Suaranya bass yang tegas, namun enak didengar.

Elsi mengangguk.

“Ada perlu apa dengan papa saya?” tanya Elsi balik, dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan dan tanpa senyuman. Pria di hadapannya hanya terdiam sembari membalas tatapan tajam Elsi, menyisakan kecanggungan yang ganjil selama beberapa saat.

“Sebelumnya, mari berkenalan.” Pria itu mengulurkan tangannya yang tertutup sarung tangan putih sepanjang pergelangan tangan. Membuat Elsi teringat pada sepaket peralatan tonti yang sering dipakainya dulu—yang di antaranya terdapat sarung tangan putih sepanjang pergelangan tangan juga.

Tapi Elsi tidak segera membalas uluran tangan itu.

Mari berkenalan? Pertanyaan yang sangat aneh, dan kebetulan diucapkan oleh orang yang aneh pula. Mata pria itu biru terang, seolah ada berlian yang bersinar di dalam sana. Rambutnya cokelat tua yang tampak seperti batang pohon yang basah. Wajahnya tidak tampak barat, tetapi juga tidak terlihat seperti orang lokal. Pakaiannya aneh—jangan-jangan sedang cosplay?

Tetapi, untuk apa cosplayer ini mencari Papa? Segila itukah papanya hingga berteman dengan orang aneh seperti ini?

“Elsi,” ucap Elsi akhirnya, tanpa menjabat tangan pria itu. Orang aneh medatangi rumahnya, Papa tidak di rumah, dan Elga sedang sakit. Orang aneh mendatangi rumahnya, dan hanya ada Elsi. Pemikiran itu sukses membuat alarm kewaspadaan di dalam kepalanya menyala keras.

“Apa tidak mau menjabat tangan saya?” tanya pria itu, dengan wajah yang sekilas tampak kikuk. Tetapi hanya sekilas, membuat Elsi setengah yakin apa yang baru saja dilihatnya hanya halusinasi. Dia menurunkan pandangan pada tangan yang masih terulur padanya.

“Saya sudah mengucapkan nama saya. Justru Anda yang sama sekali belum memperkenalkan diri,” ucap Elsi.

“Tapi kita belum saling berjabat tangan sebagai tanda bahwa kita akan saling mengenal. Perkenalan nama masing-masing seharusnya dilakukan setelah saling berjabat tangan,” balas pria itu.

Elsi mengerutkan kening. Pria ini berpemikiran sangat kekanak-kanakkan. Benar-benar pria aneh.

Gadis itu menilik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jika diulur lima menit lebih lama lagi, Elsi pasti akan terlambat datang ke sekolah.

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now