Bagian 7 - Bocah Akhir Jaman

608 150 71
                                    

Atreo menatap bekas air mancur yang kini tidak lagi bekerja. Di tempat seharusnya terpasang pemancur air, justru terpasang sebuah alat berbentuk tabung yang semakin ke atas semakin mengerucut. Dari ujungnya, terpancar zat yang meluncur ke atas, hingga di titik tertingginya, kemudian membentuk kubah bening yang melingkupi seisi kota.

Alat pembentuk atmosfer buatan.

Atreo mendongak, menatap langit biru yang tak nyata. Langit di luar sana mungkin saja sebenarnya tanpa awan, terik, dan mengerikan. Tidak sama dengan langit yang menaungi kotanya. Tidak sama dengan langit yang saat ini ditatap matanya.

Bumi sudah berubah sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak tragedi yang tidak pernah Atreo lupakan. Saat itu Atreo masih dua belas tahun, tetapi dia tidak dapat tidur tanpa memimpikan hal mengerikan itu yang terus membayanginya kapan pun dan dimanapun. Hari saat bumi akhirnya mati.

Badai matahari. Dan terjadi tepat ketika kerusakan atmosfer tiba di titik terfatal.

Itu baru satu hal.

Tidak lama kemudian, datang kabar yang lebih mengerikan. Tamu dari luar angkasa berupa badai elektromagnetik yang menon-aktifkan segala yang ada di permukaan bumi. Kala itu adalah masa jaya-jayanya, bumi adalah planet yang dalam segala hal bergantung pada keberadaan listrik. Dan badai itu sukses membuat bumi menjadi buta, tuli, lumpuh.

Paket lengkap kedatangan kiamat.

Kerusakan atmosfer sebenarnya adalah salah satu hal yang sudah diprediksi sejak lama. Karena itulah alat yang saat ini ada di hadapan Atreo diciptakan. Kota tempat Atreo tinggal adalah salah satu kota sebagai tempat percobaan. Pembuatnya merangkai alat pembentuk atmosfer sedemikian rupa sehingga mampu bekerja tanpa mengandalkan listrik.

Atmosfernya sendiri yang berhasil diciptakan hanya sebatas troposfer dan tropopause. Beruntung, sungguh beruntung, lapisan atmosfer lain dari bumi masih bisa diandalkan. Kebetulan, atau keajaiban, atmosfer yang rusak juga hingga batas troposfer.

Sayangnya, alat pembuat atmosfer ini masih tahap percobaan. Seiring berjalannya waktu, ruang lingkup yang dicapai oleh kubah atmosfer akan semakin mengecil. Atreo belum mampu menghentikannya, belum menemukan solusinya. Dia hanya mampu mencegah pengecilan atmosfer berjalan lebih cepat.

"Nak Atreo, sudah makan siang?"

Atreo menurunkan pandangan, menemukan seorang nenek yang berhenti melangkah. Dia mengangguk seadanya, membalas tatapan nenek tua itu.

"Kalau mau, nanti datang saja ke rumah nenek. Masih ada beberapa terong sisa panen bulan lalu," ujar nenek itu.

Atreo sekali lagi mengangguk, kemudian mempersilakan nenek itu melanjutkan langkah menuju tujuan awalnya. Atreo sebenarnya tidak ingat di mana nenek itu tinggal. Lebih tepatnya, mungkin bahkan tidak tahu? Tetapi, siapa peduli? Manusia hanya butuh basa-basi.

Atreo kemudian melangkah menuju pos yang tidak jauh dari air mancur. Pos kota yang berbentuk pendopo dari kayu itu tampak penuh karena layar besar memenuhi salah satu dinding. Layar ini terhubung dengan alat pembentuk atmosfer buatan dan juga terhubung dengan alat yang tersembunyi di ruang bawah tanah rumahnya.

Melihat layar ini membuat Atreo muak. Dia mendecih, tak kuasa menyembunyikan kekesalannya.

Orang-orang gila dari masa lalu benar-benar rakus. Tidak cukup dengan kenyataan manusia bisa terbang dan melayang di mana-mana. Tidak cukup dengan alat teleportasi yang rumit luar biasa—bayangkan saja, bagaimana setiap partikel dalam tubuh manusia bisa berpindah dalam sekejap, yang jika satu partikel saja terlambat atau bahkan tidak berpindah, benar membahayakan manusia yang bersangkutan.

Belum cukup dengan itu semua, mereka mencoba menciptakan sesuatu untuk menandingi Tuhan.

The Laplace's Demon.

Dan tentu saja, seperti yang sudah diduga, proyek itu gagal total dengan kerugian sangat besar serta membawa ratusan korban jiwa. Membuat dunia berkabung atas meninggalnya puluhan ilmuwan hebat dunia.

Ilmuwan hebat? Cuih, bagi Atreo, mereka hanyalah sekumpulan orang-orang sinting.

Tragedi itu terjadi saat umur Atreo lima tahun. Benar-benar sebuah lelucon yang mengerikan.

Atreo tidak terlalu ingat bagaimana benda sialan ini bisa sampai ke kotanya bahkan mengendap di ruang bawah tanah rumahnya, karena yang dia tahu, proyek itu dihentikan dan ditutup. Tetapi, Laplace's Demon yang ini datang sebagai satu kesatuan dengan alat pembentuk atmosfer buatan. Tidak sempurna, memang. Tetapi, demon tetaplah demon.

Dan saat ini, nyawa ratusan orang di kota ini—tidak, seisi kota ini, takdirnya ditentukan oleh sang demon.

"Atreo."

Suara khas yang Atreo kenali membuat pemuda itu menoleh. Dilihatnya seorang pria paruh baya dengan perut membuncit dan jenggot yang dicukur rapi. Wajahnya yang hangat menatap Atreo dengan hormat. Pria itu mendekat, kemudian menatap layar yang tadinya diperhatikan oleh Atreo.

Dia adalah Kepala Kota.

"Aku yakin kamu sudah menyadarinya. Setelah tiga tahun, sepertinya kita harus melakukan pengorbanan lagi."

|°|°|

Fun facts:
Di mata saya, Atreo tidak lain hanyalah bocah kurang ajar yang minta dihantam.

Tapi saya suka wkwk

Oke, oke, serius. Fun facts kali ini adalah, dari seluruh revisi, Jaac menempati urutan pertama tokoh yang paling banyak revisi dan Atreo menempati urutan kedua.

Hmm, sepertinya saya memang bermasalah dengan tokoh laki-laki.

Pandangan saya sedikit tertutup, jadi untuk pembaca baru, apakah kalian merasa bingung di part Atreo ini?

Butuh waktu berminggu-minggu untuk mengendapkan naskah dan saya nggak yakin saya akan kuat mengendapkan ini sampai bulan depan wkwk. Saya putuskan untuk publish apa adanya, semoga kalian paham cerita yang ingin saya sampaikan.

Omong-omong lagi, ternyata saya kembali lebih cepat dari dugaan. Saya pikir saya akan menghilang berbulan-bulan seperti sebelumnya, tapi ini bahkan belum ada sebulan sejak part 6.3 dipublikasikan.

Semoga ini pertanda baik.

Sampai jumpa~~

25Apr20-rev

[Para] Tentara LangitWhere stories live. Discover now