3.1

896 200 70
                                    

"Otoo-sama?" Kaori mengusap kedua mata yang masih terasa lengket. Dia berjalan dengan pelan, mendekati ayah dan ibunya yang sedang berdiri bersebelahan.

Dengan pandangan yang belum sempurna terang, Kaori bisa melihat ayahnya tersenyum sambil mengacak rambut Kaori. Putri tunggal yang sudah beranjak dewasa, tapi terkesan seperti masih sama kecilnya dengan belasan tahun lalu.

"Otoo-sama mau pergi dulu, ya," kata ayah Kaori, sementara gadis itu kembali mengucek matanya.

"Ke mana?"

"Kembali ke tanah air. Kembali pada kaisar."

Kantuk Kaori mendadak menghilang. Dia mengejapkan-kejapkan matanya cepat, menatap ayahnya antusias. "Eri mau ikut,"ucapnya.

Ayahnya melebarkan senyuman hangat. Saat masih dalam keadaan bangun tidur seperti ini, Kaori semakin mirip seperti saat dia masih kecil dulu. Ekspresinya, suaranya, cara bicaranya, keantusiasannya, semuanya. Tapi pria paruh baya itu menggeleng menjawab permintaan Kaori.

"Tidak bisa, Eri-chan sayang. Ini bukan perjalanan yang tidak berbahaya," ujar ayah Kaori. Kaori hanya mengejap, nyawanya belum sempurna terkumpul untuk ingat bahwa dia hidup di jaman peperangan.

"Nanti-nanti Otoo-sama janji akan mengajak Eri pulang setelah perangnya kita menangkan," lanjut Ayah Kaori.

Kaori mengangguk cepat. Gadis itu memejamkan mata, kemudian menyatukan kedua telapak tangannya, "Semoga kita berjaya dan menang di atas segalanya." Dan kemudian menepuk kedua telapak tangannya sebanyak dua kali setelah mengucapkan permohonan.

Kaori kemudian mendongak, menatap ayahnya yang sejengkal lebih tinggi dari dirinya. "Bishamonten-sama* akan mengabulkan permohonanku, Otoo-sama," ucapnya dengan yakin.

Ayahnya tersenyum, kemudian kembali mengacak rambut Kaori yang memang berantakan sebangun tidur. Beliau kemudian memindahkan perhatiannya kepada istrinya, memegang kedua bahu wanita itu untuk menenangkan kekhawatiran yang jelas terpancar.

"Kamu yakin akan pergi? Berita tentang Hiroshima sudah pasti?" tanya ibu Kaori.

"Aku sudah memastikannya. Dan dari pusat sendiri juga mengatakan akan adanya serangan kedua. Semuanya persis seperti apa yang dikatakan Yash. Ini bom jenis baru yang benar-benar meratakan semuanya dengan tanah," jawab ayah Kaori. Garis wajahnya tetap tenang, tetapi matanya jelas tampak cemas.

"Itu mengerikan. Sangat tidak manusiawi meledakkannya di tengah pemukiman warga yang tidak berdosa. Kenapa mereka membuatnya? Berapa banyak yang mereka punya?"

"Inilah perang, Sachi. Semua orang berusaha dengan segala cara untuk memenangkannya. Bom ini punya efek yang sangat besar, jadi pasti bahannya juga bukan sesuatu yang mudah didapat. Bisa jadi peringatan serangan kedua ini hanya tipuan-mereka tidak punya bom lagi. Bisa jadi sungguhan, bisa jadi ada serangan ketiga, keempat, entahlah. Aku sendiri tidak tahu."

Sachi—ibu Kaori—menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin tampak semenyedihkan wajah Hiroshima saat ini. "Belum cukup ibu kota yang hangus, Hiroshima juga harus rata, huh? Kita mungkin tidak akan punya kesempatan untuk kembali pulang."

"Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Ayah mengelus hangat bahu ibu Kaori, setia berusaha menenangkan.

"Tidak pernah ada yang baik-baik saja untuk semua keadaan ini. Di mana target selanjutnya?" Sachi mengangkat wajahnya kali ini.

"Kokura. Target utamanya adalah Kokura. Alternatifnya Kyoto. Tapi menurut Yash, target Kyoto ini akan diubah, dia percaya itu," jawab ayah Kaori.

"Kamu yakin? Kenapa diubah?"

[Para] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang