7

3.3K 273 48
                                    

"Aku menemukan surat lagi." Vio menyodorkan sebuah amplop surat berwarna pink yang sudah sangat di kenal Alika. "Di tempat yang sama di pagar dan di tempel dengan selotip. Aku penasaran, apa orang itu selalu membawa selotip kemanapun dia pergi?"

Alika mengambil surat itu dari tangan Vio dan dengan cepat memasukkannya ke dalam tas kerja miliknya. Jantungnya mulai berdebar dengan kencang dan sebuah senyuman muncul di wajahnya. Alika dengan segera memakai helmnya saat dilihatnya Vio sudah mulai memanaskan motor matic berwarna biru kesayangannya. Motor itu sudah menemani Alika dan Vio sejak mereka mulai bekerja sekitar setahun yang lalu.

"Cepat sedikit, Al!" Teriak Vio diantara deru suara mesin motor. "Sebentar lagi jalanan akan semakin ramai."

Alika naik ke atas motor dan mendekap pinggang Vio erat. Jarak dari rumah menuju ke kantor tidak begitu jauh, hampir setengah jam perjalanan. Karena kantor Vio jaraknya lebih jauh daripada kantor Alika, maka dia akan mengantarkan Alika terlebih dahulu dan akan menjemput Alika lagi sore harinya.

Berangkat lebih pagi adalah cara untuk menghindari kemacetan di jalan. Dan pagi ini, mereka lebih siang sepuluh menit dari waktu mereka biasa berangkat. Semua itu karena Vio terlambat bangun setelah semalaman mengobrol dengan Deni melalui telepon.

Vio menepikan motornya tepat di depan gedung kantor Bright Advertising dan mengerem dengan sedikit keras, membuat tubuh Alika terdorong dan membentur punggung Vio.

"Pelan-pelan, Vi." Alika menepuk pelan pundak Vio sebelum ia turun dari motor. Dilepaskannya helmnya dan didekapnya di dada. "Aku yang bawa helmnya atau kau?"

"Kau saja, aku kesiangan." Dan Vio membawa motornya menjauh, menyisakan kepulan asap motor.

Alika melambaikan tangannya saat melihat beberapa orang rekan kerjanya mulai memasuki kantor. Ia setengah berlari agar bisa menyusul Yura yang sudah berdiri di depan pintu.

"Biasanya kau lebih pagi, Al?" Yura melirik ke arah Alika sembari mereka berjalan menuju ke dalam kantor.

"Vio bangun kesiangan, jadi aku ikut kesiangan."

Yura menggeleng dan tertawa. "Vio... Dia itu sedikit aneh. Tapi, dia juga menyenangkan."

"Aku dan Vio sama-sama aneh." Alika tersenyum dan melirik ke arah Yura. "Karena itulah kami bisa akrab."

Yura berhenti tepat di depan ruangannya. Dia menatap ke arah Alika dan meneliti wajahnya. Keningnya berkerut dan dia berkata, "kau terlihat berbeda hari ini. Lipstikmu baru?"

"Tidak." Alika menggeleng dengan cepat. "Lipstikku masih sama sejak sebulan lalu. Apa wajahku terlihat aneh?"

Yura terdiam dan memandangi Alika lagi. Dia mengerutkan lagi keningnya, membuat kaca matanya sedikit naik ke atas.

"Aku tahu!" Yura menjentikkan tangannya, senyum puas terlihat di wajahnya, seolah dia berhasil memecahkan sebuah kasus yang sangat rumit. "Matamu terlihat berbeda. Kau pakai lensa kontak? Dan wajahmu terlihat cerah. Kau pakai krim malam, ya?"

"Ngawur!" Alika tertawa dan semakin mendekap erat helm di dadanya.

Tanpa mempedulikan Yura dan tanpa menjawab pertanyaannya, Alika kembali berjalan menuju ke arah ruangannya. Masih bisa di dengarnya teriakan Yura yang memanggil namanya tetapi ia memilih terus berjalan. Alika sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Yura tadi. Lensa kontak? Ada apa dengan matanya? Dan krim malam? Memangnya wajahnya kenapa?

Alika mengusap tas kerja yang diapitnya di ketiak. Surat itu. Ia akan membacanya nanti. Dan sekali lagi, Alika tak kuasa untuk tidak tersenyum.

Di dorongnya pintu ruangannya dan melangkah masuk. Semua rekan kerjanya sudah hadir dan terlihat sibuk.

Dewi Cinta [Selesai]Where stories live. Discover now