10

3.1K 253 50
                                    

Alika menatap penampilannya sekali lagi di cermin sebelum melangkah keluar dari kamarnya pagi ini. Merasa cukup puas dengan blus merah dan celana palazzo hitam yang ia kenakan, Alika melangkah keluar dari kamarnya.

Saat sampai di dapur ia melihat Vio sudah terlebih dahulu duduk di kursi makan dengan dua buah cangkir kopi yang masih mengepulkan asap berada di depannya.

"Aku sudah membuatkanmu kopi," Vio berkata sembari menyeruput kopi panasnya.

Alika duduk dan meraih cangkir kopinya. "Terima kasih, Vi."

Alika meneguk kopi buatan Vio dan mendesah nikmat saat cairan panas itu menjalari tenggorokannya. Ia butuh cafein untuk menghadapi Pak Adinata dan kemungkinan dipecat hari ini.

"Soal puisi dari Secret Admirer yang kau tanyakan kemarin," Vio meletakkan cangkirnya dan menatap Alika. "Itu adalah puisi cinta terkenal milik Rumi, Al. Aku menanyakannya pada teman kantorku yang memang menangani buku tentang puisi, dia memberitahuku semalam."

"Dan..." Alika mengerutkan keningnya menatap Vio yang menguap sembari meneguk lagi secangkir kopi di depannya, ia terlihat masih lelah dan mengantuk. Mungkin dia semalaman mengobrol dengan Deni lewat telepon. "Siapa Rumi ini?"

Vio menaikkan kedua alisnya dan meletakkan lagi cangkir kopi yang tadi dipegangnya. "Jalaluddin Rumi, penyair terkenal itu. Kau tidak pernah dengar?"

Alika menggeleng pelan. "Aku belum pernah dengar, Vi."

"Ya ampun."

"Itu bukan salahku, Vi. Aku dari dulu tidak pernah tertarik dengan syair atau pun puisi." Alika merengut kesal. "Dan Secret Admirer mengatakan di surat jika puisi ini ada hubungannya dengan namanya. Apa mungkin..."

Alika mengingat lagi setiap kata dari puisi yang dikirimkan untuknya. Puisi cinta itu ternyata milik penyair terkenal bernama Rumi. Apa mungkin nama Secret Admirer ini juga Rumi? Seperti nama penyair Jalaluddin Rumi? Bukankah inisial namanya adalah R?

"Vi," Alika menatap Vio lagi. "Aku rasa nama Secret Admirer kita ini pasti Rumi, seperti nama penyair Rumi."

Vio menguap lagi. "Entahlah Al, ini masih pagi dan otakku belum sepenuhnya bisa digunakan. Jangan berpikir yang berat-berat dulu."

"Siapa yang memintamu berpikir berat." Alika merengut dan menyilangkan tangannya di dada. "Kita akan berangkat setelah aku menulis surat untuk Secret Admirer. Kau harus menitipkan surat itu nanti pada Deni dan meminta dia meletakkannya di meja seperti biasa. Aku ingin tahu apa reaksi Secret Admirer saat menerima surat itu nanti."

"Hmmm," adalah jawaban pendek Vio sembari dia menguap dan bersandar di kursi makan.

Alika meninggalkan Vio sendirian di dapur dan masuk kembali ke kamarnya. Ia meraih kertas surat berwarna biru muda dari meja di kamarnya dan mulai menulis.

Dear Rumi,

Nama yang indah untuk seseorang yang juga indah. Rumi adalah namamu, bukan?

Apa kau tahu? Setiap surat dan puisi yang kau kirimkan padaku telah berhasil menyentuh jiwaku.
Apakah mungkin kata-kata bisa membuat jiwa seseorang tersentuh seperti itu?
Apakah kau penggemar Jalaluddin Rumi? Bolehkah aku membaca puisi yang kau tulis sendiri?
Aku bukan penggemar puisi, sajak atau syair, sampai aku bertemu denganmu.
Kau membuatku mencintai puisi.

Alika

Alika melipat surat yang baru saja ditulisnya dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna biru. Sebuah senyuman menghiasi bibirnya saat ia mengusapkan ibu jarinya ke amplop surat di tangannya.

Dewi Cinta [Selesai]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu