12

3K 273 50
                                    

Dear Rumi,

Terima kasih untuk puisinya, aku sangat menyukainya.
Itu adalah puisi paling indah yang pernah dibuatkan seseorang untukku.
Dimana kau belajar membuat puisi?
Pasti dulu banyak wanita yang jatuh cinta padamu karena kau orang yang romantis.

Bolehkah aku bertanya sesuatu?
Bisakah aku bertemu denganmu secara langsung?
Bukankah tidak adil untukku karena kau mengenalku, tahu seperti apa diriku tetapi aku tidak mengenal dirimu?

Alika

Alika dan Vio memasuki Magnolia sore itu. Alika meminta untuk mampir sebentar karena ia ingin mengembalikan jaket kulit hitam yang waktu itu dipinjamkan Bos Tampan padanya. Vio juga kebetulan ingin mampir sebentar karena Deni mengatakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

Alika sebenarnya lelah dan ingin langsung pulang tetapi ia juga ingin menitipkan surat untuk Rumi pada Deni. Alika sungguh tidak mengerti mengapa hatinya berdesir untuk dua hal yang berbeda. Kemungkinan bertemu lagi dengan Bos Tampan dan kemungkinan menerima surat lagi dari Rumi.

Alika curiga sebenarnya Deni tahu siapa Rumi ini karena dia bisa cepat mendapatkan surat balasan dari Rumi untuk Alika. Sebenarnya Alika ingin sekali bertanya pada Deni tapi ia merasa akan lebih baik jika ia meminta bertemu langsung dengan Rumi.

"Kau langsung saja ke meja kita yang biasa, Al," Vio berkata sambil mengarahkan pandangannya ke tempat Deni biasa meracik kopi. "Aku akan mencari Deni dulu setelah itu aku akan menyusulmu."

Alika mengangguk, membuka tas kerjanya dan mengeluarkan surat untuk Rumi sekaligus juga bungkusan paper bag berisi jaket kulit milik Bos Tampan. Ia menyerahkan keduanya pada Vio. "Tolong berikan ini pada Deni. Bilang padanya, jika dia bertemu Rumi, aku ingin balasan secepatnya. Dan juga tolong berikan ini jaket ini pada Bos Tampan."

"Menurutmu Deni tahu siapa Rumi ini?" Vio menatap Alika heran. Dan berkata lagi saat dilihatnya Alika mengangguk, "apa kau ingin aku menanyakannya pada Deni?"

Alika menggeleng. "Tidak perlu, Vi. Aku punya caraku sendiri."

"Kau yakin?"

"Aku yakin." Alika tersenyum sembari berjalan menuju meja di samping jendela besar yang menjadi favoritnya.

Alika menatap jalanan di samping jendela cafe. Cuaca hari ini cukup cerah, karena itu jalanan terlihat sangat ramai. Ada beberapa pasangan yang berjalan bergandengan sambil tersenyum pada pasangan mereka.

Sepasang anak muda, mungkin masih kuliah menarik perhatian Alika. Mereka berjalan bergandengan dengan lambat, seperti menikmati waktu kebersamaan mereka. Si lelaki tiba-tiba berhenti berjalan, dia meraih tangan si gadis dan menarik sesuatu dari pergelangan tangan gadis itu. Lalu, si lelaki merapikan rambut si gadis dan mulai menguncirnya menjadi ekor kuda. Ternyata benda yang diambilnya itu adalah kuncir rambut. Mungkin dia melihat si gadis sibuk merapikan rambutnya setiap kali tertiup angin.

Alika tersenyum melihat adegan itu dan kilasan masa lalu itu hadir lagi. Dulu, Ega paling suka jika Alika menggerai rambut panjangnya. Dia akan melepaskan ikatan rambut Alika jika saat mereka bertemu Alika tidak menggerai rambutnya.

"Kau terlihat cantik jika rambutmu tergerai, Al," ucapnya waktu itu. "Dan aku menyukai rambut hitam panjangmu ini."

Alika mendesah pelan dan memejamkan matanya. Rasa sakit itu sudah tidak ada, ia bisa mengenang masa lalunya tanpa merasa sakit dan sedih lagi. Ia sudah memaafkan pengkhianatan mereka berdua padanya dan sudah melupakan hal menyakitkan itu.

"Al." Alika mengalihkan pandangannya dari jendela saat mendengar suara Vio. "Aku.... Deni mengajakku pergi, Al."

"Pergi?"

Dewi Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang