20

2.8K 261 38
                                    

Alika turun dari motor saat Rumi sudah mematikan mesin motor. Ada rasa kehilangan saat tubuhnya menjauh dari tubuh Rumi. Alika terus memperhatikan Rumi yang saat ini sudah berdiri di depan dirinya.

"Masuklah," Rumi menyerahkan kunci motor pada Alika. "Aku akan menunggu di sini hingga kau masuk ke dalam."

Alika memandangi kunci motor di tangannya. Ia belum ingin masuk. Ia masih ingin menghabiskan waktu bersama Rumi.

Alika menggenggam erat kunci motor dan menarik nafas dalam-dalam. "Kau tidak mau masuk dulu? aku bisa membuatkanmu kopi."

Rumi terdiam. Matanya menatap Alika lekat. Selagi menunggu jawaban Rumi, Alika merasakan jantungnya berdebar kian kencang. Apa ia melakukan kesalahan dengan menawari Rumi untuk masuk? Apa ia terlalu spontan? Apa Rumi akan mengira Alika sangat agresif?

"Aku mau," jawab Rumi pelan.

Ucapan itu berhasil meruntuhkan segala keraguan Alika barusan. Senyum kecil di wajah Rumi membuat Alika mendesah lega.

"Tapi, bisa kita duduk di teras saja?" Rumi berkata lagi. "Kita bisa memandangi langit selagi mengobrol."

Alika mengangguk. "Tunggu di sini, aku akan membuatkan kopi."

Rumi menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk. Alika masuk ke dalam rumah setelah memastikan Rumi duduk di kursi di teras, matanya menatap ke arah langit.

Alika meletakkan tas dan kunci motor Vio di atas meja makan. Ia meraih dua buah cangkir dan mengisinya dengan bubuk kopi dan gula serta air panas. Alika membawa dua buah cangkir itu di masing-masing tangannya. Kepulan asap kopi yang wangi membuat Alika menghirupnya pelan sembari berjalan menuju ke teras rumah.

Rumi yang masih menatap ke arah langit tiba-tiba membalikkan tubuhnya saat melihat Alika datang membawa duah buah kopi.

"Terima kasih," Rumi berkata saat Alika meletakkan satu cangkir berisi kopi di atas meja, di sebelah Rumi.

Alika mengangguk dan ikut duduk juga di samping Rumi. "Kau suka memandangi langit malam?"

"Ya." Rumi menatap ke arah Alika. Tatapan lekat itu mampu menggetarkan seluruh tubuh Alika, membuatnya tidak dapat mengalihkan matanya dari mata Rumi. "Menatap bintang yang terang di atas sana membuatku menyadari jika kegelapan, tidak selamanya menakutkan. Tanpa gelap malam, bintang tidak akan terlihat indah."

Alika berdebar, ia melihat mata hitam tajam Rumi perlahan berubah lembut. Rumi mengalihkan lagi tatapannya ke arah langit, membuat Alika mendesah lega perlahan karena tidak lagi ditatap dengan lekat oleh Rumi.

"Kenapa kau suka hujan, Alika?" Rumi bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari langit di atas sana. "Kau memiliki kenangan indah pada hujan?"

Alika tersenyum menatap langit malam. "Hujan mengingatkan aku pada almarhum papaku. Dulu, setiap kali hujan turun dia akan mengajakku bermain hujan. Di akan menggendongku, merentangkan tanganku dan kami mandi hujan bersama. Saat hujan turun, saat itulah kenangan indah itu kembali lagi."

"Maaf," Rumi menatap Alika lagi, dengan raut wajah penuh penyesalan. "Aku tidak tahu jika papamu sudah tidak ada."

Alika tersenyum. "Tidak apa-apa. Papa meninggal saat aku berumur sepuluh tahun dan adikku Milo berumur enam tahun. Dia kecelakaan saat akan berangkat kerja. Motornya menabrak mobil yang saat itu sedang ngebut dijalan. Saat ini hanya ada kami bertiga."

"Sudah lama sekali," Rumi berkata pelan, memandangi kedua tangannya. "Pasti berat untuk kalian bertiga, ya?"

Alika mendesah pelan. Mengingat beratnya kehidupan setelah papa meninggal dunia. Papa pegawai negeri biasa sedangkan mama tidak bekerja. "Berat memang, mama yang pintar memasak memilih terjun ke bisnis katering. Dari hasil itulah mama menyekolahkan aku dan adikku."

Dewi Cinta [Selesai]Where stories live. Discover now