16

2.9K 271 54
                                    

Alika melihat Bos Tampan menepuk-nepukkan tangannya di bagian belakang celana jeansnya saat botol besar terakhir yang berisi biji kopi telah tersusun rapi di bagian belakang mobil. Ada sekitar delapan buah botol besar yang tadi diangkatnya dari halaman belakang rumah Om Alan sampai ke depan. Saat Om Alan menawarkan diri membantunya mengangkat botol, Bos Tampan menolak dan mengatakan jika Om Alan sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.

Saat ini, Alika melihat beberapa butir peluh memenuhi dahinya dan perlahan turun jatuh ke sisi samping wajah tampannya. Dia mengangkat tangannya dan menggunakan punggung tangannya itu untuk mengusap butiran peluh tadi.

"Dia terlihat semakin tampan jika berkeringat seperti itu."

Alika setengah terkejut saat suara Om Alan tadi terdengar di sampingnya. Sejak kapan Om Alan ada di sampingnya? Apa Om Alan melihatnya memperhatikan Bos Tampan tadi? Alika bertanya dalam hati.

"Iya kan, Alika?" Om Alan bertanya bahkan dengan mata masih menatap ke depan, melihat Bos Tampan yang berjalan mendekati mereka.

"Ayo Alika, kita pulang." Alika bersyukur sekali mendengar suara Bos Tampan yang akhirnya mengajaknya pulang. Ia jadi terbebas dari pernyataan Om Alan tadi. "Dan jangan biarkan Om Alan merayumu lagi," Bos Tampan menambahkan.

"Cepat sekali kalian pulang. Kenapa tidak makan siang dulu disini."

Bos Tampan tertawa pelan. "Dan makan nasi bungkus? Tidak, aku akan masak sendiri nanti. Alika akan makan siang di cafe denganku."

"Benarkah?" Alika bertanya terkejut. "Aku belum mendengar kau bertanya padaku."

Om Alan tertawa menatap Bos Tampan yang terdiam tanpa ekspresi. "Ale, untuk urusan wanita, aku sepertinya jauh lebih baik darimu."

"Lebih baik bagaimana?" Bos Tampan balik bertanya dengan wajah kesal. "Kau saja tidak menikah."

"Aku tidak menikah karena pilihan, Ale. Bukan karena aku tidak laku. Aku cukup tampan sewaktu muda dulu. Kau bisa melihat sisa-sisanya kan, Alika?"

"Ya," Bos Tampan telah terlebih dahulu menjawab. "Sisa kerutan di wajahmu, Om."

Om Alan tertawa lagi. Kali ini, dia menatap Alika. "Jangan tertipu penampilan luarnya, Alika. Ale ini pemalu pada wanita."

"Old man!" Bos Tampan berteriak kesal tetapi Alika melihat matanya berbinar dan sudut bibirnya terangkat. "Jangan diteruskan. Aku harus kembali ke cafe."

"Baiklah, hati-hati di jalan." Om Alan menyentuh pelan bahu Alika. "Dan mampirlah kemari jika kau ada waktu, Alika."

Alika mengangguk dan tersenyum. "Tentu, Om. Kapan-kapan aku akan main ke sini."

"Kami pulang dulu, Om." Bos Tampan memeluk Om Alan sebentar dan melepaskan lagi pelukannya.

Bos Tampan melakukan hal yang sama lagi. Dia membukakan pintu untuk Alika sebelum dia menaiki mobil. Bahkan dulu, saat masih berpacaran dengan Ega, Alika tidak pernah diperlakukan seperti itu.

Saat mobil sudah mulai berjalan, Alika berkata, "apa maksudmu tadi saat kau bilang aku akan makan di cafe denganmu?"

Bos Tampan mengernyitkan dahinya dan melihat ke arah spion mobil lalu berkata, "kau tidak mau?"

Apa-apaan itu? Kenapa dia selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi? Tidak bisakah langsung saja menjawab?

Alika mendesah pelan. "Kenapa kau tidak bertanya dulu apakah aku mau makan di cafe bersamamu?"

"Kau menolak?" Bos Tampan kali ini menatap Alika sekilas.

Dari alisnya yang saling bertaut dan cengkramannya yang mengencang di setir mobil memperlihatkan jika dia tengah cemas. Alika menghembuskan nafas pelan. Ia memilih diam saja sepanjang sisa perjalanan mereka.

Dewi Cinta [Selesai]Where stories live. Discover now