23

2.6K 255 30
                                    

"Kau tidak ke kantor?"

Alika menatap heran saat melihat Vio masuk lagi ke kamarnya dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih. Dia tidak memakai pakaian kerja dan wajahnya bersih dari polesan makeup.

Vio meletakkan nampan tadi di atas pangkuan Alika yang tengah duduk berselonjor di atas ranjang. "Aku akan menemanimu di rumah."

"Kau bisa kena marah, Vi." Alis Alika berkerut khawatir. "Aku tidak apa-apa, kau bisa ke kantor."

"Tapi aku tidak mau, Al." Vio masih berdiri di sisi ranjang, melipat tangannya di dada. "Aku ini sahabat yang baik, akan selalu ada saat kau membutuhkanku."

Alika menghela nafas dan memilih tidak beragumen lagi. Vio bisa keras kepala jika sudah membuat keputusan. Alika melihat isi nampan yang dibawa Vio tadi. Semangkuk bubur ayam yang pasti dibelinya di warung tidak jauh dari rumah dan segelas air putih yang masih menyisakan kepulan asap tipis, tanda jika itu air hangat. Rupanya Vio keluar dari kamar Alika setengah jam yang lalu itu karena dia hendak membelikannya semua itu.

"Aku hanya sedang banyak pikiran, Vi." Alika menatap bubur ayam di depannya itu. "Bukan sedang sakit."

Vio duduk di tepi ranjang, mungkin lelah berdiri sejak tadi. "Banyak pikiran itu juga sakit, Al. Sakit psikis. Makanlah, kau belum makan sejak kemarin siang."

Alika menyendokkan bubur ayam beraroma wangi itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Tidak seperti biasanya, rasanya hambar di lidah Alika.

"Tidak enak?" Vio bertanya, pasti dia melihat Alika mengernyit tadi. Melihat Alika mengangguk, Vio berkata lagi, "pasti karena pikiranmu, jadi rasanya ikut tidak enak. Habiskan saja, nanti malah fisikmu yang ikut sakit."

Melihat Vio menungguinya membuat Alika menyendokkan lagi bubur ayam tadi. Ia memaksakan dirinya untuk mengunyah  dan menelan makanannya. Saat suapan terakhir masuk ke mulutnya, Alika mengembuskan nafas lega, tahu pasti Vio akan senang dan tidak akan mengganggunya lagi.

"Kau harus membeli ponsel baru, Al." Vio mengambil nampan dari pangkuan Alika, meletakkannya di atas nakas dan duduk lagi di tepi ranjang. "Aku akan kesulitan jika harus menghubungimu."

"Entahlah, Vi..."

"Ponsel itu penting, Al. Bagaimana Mama dan adikmu akan menghubungimu?"

Alika menghela nafas. "Ya, gajian nanti aku akan membelinya."

Vio mengangguk, puas dengan jawaban Alika. Gadis itu beranjak dari tepi ranjang, mengambil nampan bekas Alika makan dan membawanya keluar dari kamar Alika.

Saat Vio sudah menghilang, Alika menatap kosong langit-langit kamarnya. Ucapan Aksa di telepon kemarin masih terngiang di telinganya meskipun tidak sekeras sebelumnya. Rasa hatinya yang masih belum enak membuat Alika malas untuk berkegiatan. Melamun, hanya itu yang ia lakukan.

Vio masuk lagi ke dalam kamar Alika dan duduk lagi di tepi ranjang. "Kau mau seharian mengurung diri di kamar seperti orang patah hati?"

Alika hanya diam. Ia sedang tidak ingin kemana-mana.

Vio menghembuskan nafas pelan. "Untuk apa kau pikirkan masalah itu terus, Al! Toh, bukan dirimu yang menyebarkan berita itu. Jika Aksa tidak mempercayaimu, itu masalahnya, bukan masalahmu."

"Tapi aku kasihan padanya, Vi."

"Dan dia tidak kasihan padamu!" Vio berkata kesal. "Aku memang penggemar Aksa, tapi aku sahabatmu, jelas aku lebih membela dirimu, Al. Kau bukan orang yang suka menyebarkan gosip soal masalah orang lain. Seharusnya Aksa bisa melihat semua itu."

Alika diam lagi, memandangi dinding kamarnya yang ikut diam membisu.

"Aksa seharusnya bersyukur dia bertemu denganmu, Al." Vio menatap Alika serius. "Jika bukan karena dirimu, entah sudah jadi apa hidupnya saat ini. Dan Aksa itu sudah dewasa, kau tidak perlu mengasuhnya terus menerus seperti anak kecil. Biarkan dia menghadapi masalahnya ini. Lagipula, semua berita itu memang kenyataan, kan? Seharusnya Aksa bisa belajar untuk menjadi lebih baik lagi."

Dewi Cinta [Selesai]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora