15

2.8K 278 51
                                    

"Baiklah!" Alika berteriak pada dirinya sendiri saat menatap ke arah cermin di depannya. "Lupakan gengsi, Alika. Kau penasaran dan kau harus mencari tahu kenapa."

Alika mengangguk dan menarik nafas panjang sebelum berbalik membelakangi cermin. Ia melirik jam di dinding kamarnya. Jam sepuluh pagi, itu berarti sudah tiga jam lebih ia bergelut dengan rasa penasarannya sendiri.

Alika meraih dompetnya dan keluar dari kamar. Ia mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda yang tidak terlalu tinggi sambil berjalan ke arah pintu depan.

Berjalan kaki menuju Magnolia adalah pilihannya karena jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah. Alika berhenti sebentar di depan pintu masuk Magnolia untuk mengatur nafasnya yang sedikit tersengal akibat berjalan kaki. Alika merapikan sedikit rambutnya, memastikan tidak ada helaiannya yang keluar dari ikatan rambutnya.

Kenapa aku melakukan itu? Alika terdiam lagi. Apakah karena kemungkinan bertemu dengan Bos Tampan yang membuatku merapikan rambut tadi? Alika menggeleng pelan, mengusir apapun yang ada di pikirannya tadi.

Mata Alika langsung tertuju ke arah tempat Deni meracik kopinya saat ia sudah memasuki cafe. Suasana di dalam belum terlalu ramai oleh pelanggan. Sosok Deni yang sedang sibuk merapikan botol-botol besar berisi biji kopi membuat Alika lega. Ternyata kedatangannya tidak sia-sia.

"Pagi, Den," sapa Alika yang langsung membuat Deni membalikkan tubuhnya. "Kau sedang sibuk?"

"Tentu saja aku sibuk, Al," Deni berkata sembari tersenyum. Lesung pipinya yang muncul semakin membuat wajah Deni terlihat manis. "Kau tidak ke kantor? Vio bilang semalam kau lembur."

Alika mengangguk. "Ya, aku lelah setelah lembur, jadi hari ini aku izin tidak masuk. Dan aku juga ada perlu denganmu."

"Aku?" Deni meletakkan botol besar berisi biji kopi bertuliskan Arabica di atas meja counter, wajahnya terlihat serius.

"Emm... Begini, apa di meja tempatku biasa duduk tidak ada surat lagi? Yang berwarna pink?"

"Oh, surat yang sering kau dapatkan dan sering kau titipkan padaku?"

Alika mengangguk penuh semangat. "Ya, surat itu. Apa ada surat lagi untukku?"

"Tidak." Deni menggeleng cepat. "Seingatku di meja itu tidak ada surat lagi. Vio selalu mengingatkan aku untuk mengecek meja itu sebelum aku pulang."

Kekecewaan memenuhi hati Alika. Kenapa? Itu yang ingin ia tanyakan pada Rumi saat ini. Kenapa setelah hampir setiap hari mengirimi Alika surat dan puisi tiba-tiba sekarang harus berhenti begitu saja. Apa maksudnya?

Alika sudah membuka mulutnya hendak bertanya lagi tetapi mengurungkan niatnya saat melihat Bos Tampan berjalan menuju ke arahnya dan Deni. Wajahnya yang tampan masih tanpa ekspresi seperti biasanya. Rambutnya yang sedikit panjang di kuncirnya ekor kuda. Saat dia mulai mendekat, wangi tubuhnya mulai mengganggu hidung Alika.

"Aku akan mengambil kopi di tempat Om Alan," Bos Tampan yang saat ini berdiri di samping Alika berbicara pada Deni. "Aku ingin kau ikut Deni."

Alika menekan rasa kecewa lagi di hatinya saat Bos Tampan tidak menyapanya atau bahkan memberikan senyuman padanya. Dia kan pernah mengantarkan Alika pulang, dua kali! Kenapa sekarang seperti pura-pura tidak mengenal Alika?

"Tapi... Aku sibuk, Bos." Deni mengarahkan tangannya ke arah botol-botol yang tadi dipindahkannya. "Rasanya aku tidak bisa."

Alika mendengar Bos Tampan mendesah pelan, memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeansnya. Apakah itu sudah jadi kebiasaannya?

"Bagaimana kalau Alika saja yang menemanimu, Bos?" Ucapan Deni tadi membuat Alika terkejut dan mendelik menatap Deni. "Alika sedang tidak bekerja dan kau juga perlu teman. Aku rasa, Alika pasti tidak akan keberatan."

Dewi Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang