28

2.9K 291 49
                                    

Alika memeluk tubuh Om Robi dan Tante Widya, orang tua Vio. Alika baru saja mampir dan memberikan oleh-oleh titipan Vio untuk orang tuanya.

"Beritahu Vio dia harus berhemat, Al." Widya, mama Vio mengusap lengan Alika saat mengantarkannya ke depan halaman. "Dia harus banyak menabung jika ingin segera menikah. Kau tahu kan, Om dan Tante pensiunan dengan gaji kecil."

Alika mengangguk, berhenti sebentar dan menatap Tante Widya. "Apa Vio benar-benar serius kali ini? Dia mengatakan ingin menikah?"

"Baru kemarin Vio menelepon Tante, mengatakan dia sangat mencintai Deni dan akan pulang untuk mengenalkan lelaki itu pada Tante dan Om."

Alika tersenyum lebar sembari berjalan lagi, merasa bahagia untuk sahabatnya itu. "Deni lelaki yang baik, Tante. Pasti Om dan Tante akan menyukainya. Dia juga pekerja keras dan bertanggung jawab."

"Syukurlah." Tante Widya menjajari langkah Alika. "Kami hanya bisa merestui, Al. Semua terserah pada Vio."

Alika berpamitan sekali lagi pada Tante Widya saat sudah dekat dengan mobilnya. Pak Udin, supir yang biasa mengantar katering Mama ke pelanggan yang mengantar Alika hari ini.

Pasar adalah tujuan Alika berikutnya. Sudah lama Alika tidak melihat pasar di kotanya itu. Beberapa bangunan sudah di pugar menjadi lebih modern dengan tambahan beberapa lantai ke atas. Beberapa tiang pancang yang kabarnya cikal bakal sebuah Mal mulai dikerjakan.

"Jalanan sekarang mulai macet di daerah ini, Al." Pak Udin menggeleng kesal, melihat mobil yang berbaris rapat, terkena macet. "Semenjak ada pembangunan emol itu."

Alika menatap ke arah yang ditunjukkan Pak Udin tadi. Beberapa pekerja bangunan yang memakai helm proyek tengah bekerja dengan giat, mungkin mengejar target pembangunan.

"Sekarang dari rumah menuju pasar bisa lama sampainya," Pak Udin kembali bicara sementara mobil mulai berjalan pelan. "Papanya si Ega, Pak Walikota memberi izin pembangunan emol itu."

Sejak setahun lalu, Papa Ega terpilih menjadi Walikota di tempat Alika. Sejak itu juga, pembangunan di kota kecil itu semakin bergeliat.

"Tapi, kota semakin ramai kan, Pak? Pembangunan Mal pasti menyerap tenaga kerja juga."

Pak Udin mengangguk, menginjak gas dan menerabas lampu merah. "Ya, anak Bapak si Rian sudah mendaftar di emol baru itu. Coba-coba."

Alika tersenyum. "Semoga berhasil ya Pak."

Pak Udin mengangguk dan tersenyum, kembali menambah laju kendaraan. Tidak sampai sepuluh menit, karena jalanan mulai lengang, mobil yang dikendarai Pak Udin mulai memasuki pelataran pasar. Dia berhenti setelah mendapat tempat parkir.

"Pak Udin tunggu disini, ya. Aku akan menyusul Mama." Alika menutup pelan pintu mobil sesaat setelah melihat anggukan kepala Pak Udin.

Pasar tradisional ini masih tetap sama sejak dua tahun lalu. Alika tahu kemana harus menyusul Mamanya. Toko sembako paling besar di kota yang pemiliknya adalah adik Papanya Ega. Alika tahu, jika ia menjemput Mamanya di sana, berita kedatangannya pasti akan segera di dengar oleh Ega.

Alika mempercepat langkahnya saat dilihatnya Mamanya melambaikan tangan pada Alika dari depan toko.

"Ya ampun, Alika?" Tante Sari, pemilik toko berteriak saat melihat kedatangan Alika. "Wulan, kenapa kau tidak cerita padaku jika Alika datang?"

Wulan tersenyum. "Aku lupa karena terlalu banyak yang aku beli tadi."

Tante Sari mendekati Alika, memeluk tubuh Alika sebentar. Dulu, Tante Sari adalah orang yang paling menyetujui hubungan Alika dan Ega. Itu karena dia mengenal Mama dan juga Alika sejak lama. Tante Sari bilang, Ega membutuhkan wanita yang mandiri seperti Alika untuk menutupi sifat manja dan kekanakannya. Dulu, Alika tidak paham maksud ucapan itu.

Dewi Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang