30

8.2K 357 43
                                    

Suara riuh tepuk tangan memenuhi salah satu ballroom hotel berbintang yang malam itu digunakan untuk pemutaran perdana sekaligus konferensi pers iklan yang dibintangi bintang film kenamaan Aksa Devian. Ini adalah iklan pertamanya sejak memutuskan mundur sejenak dari dunia entertainment beberapa bulan lalu.

Semua orang, baik kritikus, penggemar maupun pihak perusahaan berlian yang menggunakan jasa Aksa tampak puas dengan hasil iklan tadi. Mereka mengatakan iklan itu sangat pas dengan image Aksa yang mewah dan berkelas.

Ada satu orang wanita disudut ruangan ballroom itu yang menatap puas saat layar yang tadi menampilkan proyek ikan pertamanya itu perlahan ditutup. Alika tersenyum penuh rasa lega. Hasil iklan itu sesuai dengan harapannya. Memuaskan. Ia sengaja menjauh dari keramaian untuk menyimpan kesuksesan itu sendirian.

"Aku bangga padamu." Rumi tiba-tib memeluk tubuh Alika dari belakang, mencium rambutnya yang beraroma stroberi, aroma kesukaannya. "Pacarku selain cantik juga sangat pandai menulis cerita. Iklan itu contoh nyata kecerdasanmu, Alika."

Alika membalikkan tubuhnya, menatap Rumi yang memeluk pinggangnya. "Itu kerja tim. Aku berhasil juga berkat dukungan rekan yang lain."

"Tapi aku tetap bangga padamu. Apa aku sudah bilang padamu hari ini jika aku mencintaimu?"

Alika tertawa. "Sudah. Seingatku sudah tiga kali seharian ini."

"Benarkah?" Mata hitam itu berbinar senang. "Aku selalu takut aku lupa mengatakan padamu jika aku sangat mencintaimu."

Alika merangkum wajah Rumi, menatapnya lekat. "Aku juga mencintaimu, Rumi. Sebesar kau mencintaiku. Bahkan mungkin lebih besar."

"Tidak." Rumi menggeleng tidak setuju. "Cintaku pasti lebih besar."

Alika tertawa pelan. "Ya, kau mana mau mengalah."

"Apa aku mengganggu?" Suara berat yang sangat dikenal Alika mengusik mereka berdua.

Alika dan Rumi menoleh bersamaan ke arah Aksa yang berdiri menatap mereka berdua. Dia terlihat luar biasa tampan dengan setelan jas lengkap, rambut yang disisir rapi ke belakang dan senyum menawan di wajahnya. Rumi berdiri di sebelah Alika saat menyadari kehadiran Aksa. Dia memeluk pinggang Alika erat dengan satu tangan dan tangannya lainnya dimasukkannya ke dalam saku celana.

"Ayolah Ale, jangan menatapku seperti itu." Aksa tersenyum menatap wajah tegang dan tatapan tajam Rumi. "Aku kemari hanya ingin menyapa Alika sebagai teman dan rekan kerja. Apa aku salah?"

"Kau pernah menyukai Alika, Aksa. Aku hanya mencoba berhati-hati, melindungi apa yang menjadi milikku."

Aksa tertawa pelan, menggeleng melihat sikap protektif Rumi pada Alika. "Kau takut padaku? Takut Alika tiba-tiba berubah pikiran dan memilihku?"

Alika menyentuh pelan tangan Rumi, mengelusnya. "Aksa hanya menggodamu, Rumi. Dia bercanda."

"Dan aku tidak suka gaya bercandanya!" Rumi mendengus kesal, menatap Aksa tajam lagi. "Cepat katakan apa maumu setelah itu kau bisa meninggalkan aku dan Alika sendirian."

Aksa melirik Alika, lalu menghela napas pelan. "Apa tidak bisa aku berbicara berdua dengan Alika?"

Rumi maju satu langkah, menyipitkan matanya. "Kau harus melewati aku dulu jika ingin hal itu terjadi."

"Baiklah." Aksa mengangkat kedua tangannya, memberi isyarat menyerah. "Aku akan mengatakan apa yang ingin aku katakan pada Alika di hadapanmu juga. Aku, aku ingin berterima kasih pada Alika. Berkat dirinya, aku menemukan kepercayaan diriku lagi. Dan... Aku juga berterimakasih padamu, Ale. Karena Tama Media sudah membantuku waktu itu."

"Itu saja?" Rumi menatap heran. Saat Aksa mengangguk, Rumi berkata lagi, "jika hanya itu kenapa kau perlu berbicara secara pribadi dengan Alika? Apa yang kau inginkan?"

Aksa tertawa lagi, entah apa yang membuatnya begitu senang. "Aku hanya ingin melihat sejauh mana kau akan melindungi Alika dariku. Kau benar-benar mencintai Alika kan, Ale. Kau begitu takut kehilangan dirinya. Aku hanya bercanda tadi, Ale. Selamat untukmu dan Alika."

Aksa berbalik tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Rumi menoleh ke arah Alika dengan bibir mengerucut. Dia terlihat lucu. "Dia tampan, kan?"

"Siapa?" Alika bertanya bingung. "Aksa?"

Rumi mengangguk pelan, keningnya berkerut menatap Alika. "Apa kau yakin kau tidak menyimpan rasa suka pada Aksa? Bintang film itu lebih sukses dibandingkan aku yang hanya pemilik coffeeshop kecil."

"Rumi." Alika meraih tangan Rumi, membawa tangan itu ke dadanya, tepat didetakan jantungnya. "Kau dengar detakan itu? Jantung ini berdetak karena dirimu. Ia berdetak cepat saat aku menatap wajahmu, lebih cepat lagi saat kau balas menatapku dan lebih cepat lagi saat kau mengatakan kau mencintaiku. Tanpamu, detakan itu tidak akan ada."

Suara riuh dibelakang mereka sekali lagi terdengar, suara tanda pesta perayaan keberhasilan peluncuran iklan dimulai. Rumi dan Alika saling menatap lekat dan berpelukan, melupakan semua keramaian.

"Papa dan Mama menunggumu di rumah, Alika." Rumi mendekap erat Alika, mencium puncak kepalanya dengan sayang. "Mereka menyiapkan pesta untuk merayakan kesuksesanmu ini."

Alika menjauhkan tubuhnya, menatap Rumi dengan kening berkerut. "Itu berlebihan, Rumi. Aku hanya menulis materi iklan ini, bukan sutradara atau artisnya. Papa dan Mamamu akan kecewa."

"Mereka mencintaimu juga." Rumi terdengar tidak setuju. "Mereka ikut bangga, Alika. Bahkan Mama meminta Marco untuk menjemput Mamamu dan Milo, adikmu."

Alika menatap lekat mata Rumi, mencari kebohongan disana. Tapi, yang ia lihat adalah binar bahagia. Jadi, Rumi tidak mungkin berbohong.

"Mama dan Milo datang?" Alika mengulangi lagi ucapan Rumi tadi. "Benarkah?"

Rumi memeluk lagi tubuh Alika. "Ya, sayang. Semua berkumpul untukmu, untuk memberitahumu betapa kami menyayangimu."

~~~~~~

"Satu, dua, tiga..." Fotografer itu berteriak lantang, menatap ke arah seluruh anggota keluarga yang saat ini merapat, untuk berfoto bersama dengan kedua mempelai yang tersenyum bahagia menatap ke arah kamera. "Say cheese, Ale, Alika!"




Keju's Note:


Alika dan Rumi adalah contoh dua orang dengan patah hati mendalam. Siapa yang tidak pernah patah hati? Semua pasti pernah merasakannya.

Lewat cerita ini aku ingin memberitahu jika patah hati bukanlah akhir dari segalanya. Setiap orang datang dan hadir dalam hidup kita silih berganti. Ada yang menetap dan ada yang memilih pergi. Mereka yang memilih pergi dan membuat kita patah hati mengajarkan satu hal: bahwa masih ada yang terbaik yang disiapkan Tuhan untuk kita.

Jadi, kalian yang sedang patah hati : move on dan temukanlah cinta baru yang sedang menanti kalian.

Salam,
k e j u

t a m a t

16Mei2018

Dewi Cinta [Selesai]Место, где живут истории. Откройте их для себя