22

2.6K 257 34
                                    

Alika menaiki taksi online yang tadi di pesannya. Ia meminta izin pulang cepat hari ini karena Alika tahu ia tidak akan bisa mengerjakan apa-apa. Tidak dihiraukannya tatapan penasaran dan bisikan pelan dari rekan-rekan kerjanya di ruangan saat Alika menerima telepon dari Aksa tadi. Alika juga hanya diam saat semua yang berada diruangannya tadi bertanya kenapa ponsel Alika bisa terjatuh.

Taksi mulai melaju saat Alika selesai mengatakan alamat yang akan ia tuju. Alika memejamkan matanya di sepanjang perjalanan. Suara lirih dan sedih Aksa terngiang lagi di telinganya.

Apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itu diulangi Alika terus-menerus sejak tadi.

Ingin rasanya Alika mendatangi Aksa dan menjelaskan padanya jika Alika tidak pernah membocorkan masalah Aksa pada siapapun. Aksa bukan satu-satunya orang yang pernah menceritakan masalah mereka pada Alika. Walaupun masalah Aksa adalah masalah terberat yang pernah Alika temui.

Alika membuka matanya saat mobil yang dinaikinya tiba-tiba berhenti. Alika mengambil uang dari dalam dompet dan memberikannya pada supir sebelum ia membuka pintu mobil dan turun.

Alika menatap pintu depan Magnolia dan menarik nafas dalam-dalam. Dadanya masih terasa berat setiap kali ia menarik nafas. Rasa sakit dan rasa kecewa memenuhi hatinya. Ada tumpukan air mata yang masih bisa di tahan oleh Alika hingga saat ini yang mendesak untuk turun.

Magnolia ramai seperti biasanya. Deni berjalan mendekati Alika begitu melihat gadis itu mengedarkan pandangannya di sekeliling cafe.

"Kau sendirian?" Deni memandang ke arah belakang Alika. "Vio tidak ikut?"

Alika menggeleng pelan. "Apa Rumi ada?"

"Kau mau bertemu dengannya?" Deni bertanya tanpa menjawab pertanyaan Alika tadi.

Alika mengangguk lagi. Deni memperhatikan Alika sekali lagi lalu keningnya berkerut. Mungkin dia melihat penampilan Alika yang kusut. Atau rambutnya yang terurai dan berantakan. Atau juga memperhatikan jejak kesedihan di wajahnya.

"Rumi ada di ruangannya, Al. Kau bisa langsung saja ke sana."

Alika mengangguk lagi dan tanpa berbicara apa-apa dengan Deni, Alika langsung berjalan menuju ruangan Rumi. Ruangan yang waktu itu di datanginya itu setengah tertutup. Tanpa mengetuk lagi, Alika menyerbu masuk.

Rumi sedang memandangi ponselnya yang diletakkan di atas meja saat Alika sudah berada di dalam. Seperti waktu itu, begitu melihat Alika dia langsung menoleh dan berdiri, melupakan apa yang tengah dilihatnya dengan serius tadi dan menghampiri Alika.

"Alika?" Dia berhenti tepat di depan Alika, meneliti penampilan gadis itu dan melihat jam di dinding ruangannya. "Cepat sekali kau pulang kerja."

Alika hanya tersenyum kecil, membuat Rumi memajukan lagi tubuhnya dan meraih dagu Alika, mendongakkan sedikit wajah gadis itu. Alis Rumi mengernyit saat mata hitam dan tajamnya menatap ke dalam mata Alika lama dan lekat, seolah-olah mencari sesuatu.

Rumi mendesah pelan, menurunkan tangannya untuk meraih tangan kanan Alika dan menggenggamnya. "Ayo, kita duduk di sana."

Di sana yang di maksud oleh Rumi adalah sebuah sofa berwarna abu-abu muda yang berada di depan meja kerja Rumi. Dengan lembut Rumi membimbing Alika untuk duduk di sofa. Rumi mengelus lembut tangan Alika saat dia sudah duduk juga di sebelah gadis itu.

"Aku," Alika mulai bicara. "Aku teringat ucapanmu kemarin. Kau bilang..."

"Jika kau memiliki masalah, kau bisa menceritakannya padaku," Rumi menyambung ucapan Alika tadi. "Aku juga ingat, Alika."

Alika memandangi tangan Rumi yang besar dan dipenuhi urat yang menonjol itu yang saat ini melingkupi tangan kecil Alika. Rasa nyaman dan perasaan aman itu hadir lagi dalam hatinya. Rumi, dialah pemberi rasa nyaman itu.

Dewi Cinta [Selesai]Where stories live. Discover now