18

2.8K 262 41
                                    

Sekalipun Alika telah mempersiapkan dirinya untuk mendengar pengakuan Bos Tampan di depannya ini, tapi saat mendengar secara langsung kata-kata itu keluar dari bibirnya masih bisa membuat Alika terkejut.

Alika memperhatikan sosok tampan di depannya itu. Sosok yang juga memandanginya dengan lekat. Jantungnya berdebar kian kencang. Perasaan hangat mulai menjalari hatinya.

"Kenapa?" Alika bertanya pelan. "Kenapa kau mengirimiku surat?"

"Bisakah kau panggil saja aku Rumi?" Lagi-lagi dia tidak menjawab pertanyaan Alika tetapi mengajukan pertanyaan lain. Kebiasaan yang tidak disukai Alika. "Nama itu panggilan khusus dari mamaku."

"Rumi," Alika mengucapkan nama itu pelan. Entah mengapa ada desiran dihatinya saat kata itu meluncur dengan halus tadi.

Satu sudut bibir sebelah kiri Rumi terangkat sedikit. Mata hitamnya masih memperhatikan Alika dengan lekat.

"Bisa kau jawab pertanyaanku tadi?"

Rumi mengangguk dan menyandarkan tubuhnya di kursi. "Saat itu hujan, kau duduk di kursi favoritmu, menatap hujan dari jendela di sampingmu. Saat itu kau sendirian, tanpa Vio."

Alika ingat saat itu. Sabtu sore, saat ia ke Magnolia sendirian dan waktu itu hujan turun dengan deras. Ia menyukai hujan, karena itu selalu mengingatkannya dengan almarhum papanya.

"Aku memperhatikanmu," Alika menatap lagi Rumi yang melanjutkan ucapannya. "Beberapa hari sebelumnya juga. Ada sesuatu di matamu yang membuat aku selalu tertarik untuk memperhatikanmu. Matamu menyimpan banyak emosi Alika, emosi yang menggangguku. Kadang mata itu kosong, kadang mata itu sedih dan terkadang mata itu berpura-pura bahagia."

Alika menelan ludahnya, menatap dengan mata sedikit membesar ke arah Rumi.

"Menatapmu di sana seperti melihat puzzle, Alika. Aku begitu penasaran ingin menguraikan apa yang ada di dalam benakmu dan menyusunnya ulang. Itulah awalnya. Dan saat tidak menemukan cara untuk mendekatimu, aku melakukan cara yang aku tahu sangat kuno dan pengecut. Lewat surat dan tanpa mencantumkan namaku."

Alika masih terdiam. Setiap kali Rumi berbicara setiap kali itu juga jantung Alika berdebar kencang. Apakah itu mungkin?

Alika memejamkan mata sebentar, mengatur nafasnya yang sedikit sesak. "Tapi, itu tidak mungkin. Maksudku, dari mana kau memperhatikan aku? Setiap aku duduk di cafe ini, aku jarang melihatmu."

"Aku," Rumi menghentikan ucapannya. Dia melarikan tangannya ke rambutnya, mengacaknya pelan, hingga helaiannya ada yang menutupi sebelah wajahnya. "Aku rasa semua sudah cukup, Alika. Aku sudah mengatakan alasanku."

"Apa? Itu saja?" Alika menatap Rumi dengan bingung. Kenapa sikapnya selalu berubah setiap waktu? "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi."

Rumi masih terdiam. Dia bahkan mengalihkan pandangannya dari Alika. Tiba-tiba dia berdiri, berjalan menuju satu-satunya jendela di ruangan itu dan membuka tirainya. Alika terkejut karena ternyata dari jendela ruangan Rumi itu dapat melihat ke dalam cafe, terutama tempat Alika biasa duduk.

"Dari sinilah aku biasa memandangimu," Rumi bicara lagi, masih memunggungi Alika. "Dalam diam dan sendirian."

"Kenapa?" Alika memilih ikut berdiri dan berjalan ke arah Rumi. Ia berhenti saat berada tepat di belakang lelaki itu. "Kenapa aku? Banyak wanita lain yang bisa kau amati dan kau lihat."

Alika melihat Rumi menarik nafas dalam-dalam. "Di dalam mata mereka aku tidak melihat hal yang biasa aku lihat di mataku setiap kali aku bercermin. Aku menemukan kesamaan antara kau dan aku."

"Kesamaan apa?"

"Sorot matamu adalah sorot mata kepedihan, Alika." Kali ini Rumi berbalik sehingga menghadap ke arah Alika. Mata tajamnya memandangi Alika. "Kau pernah terluka, dengan sangat dalam. Sorot mata yang sama sering aku lihat di mataku. Karena itu aku sering mengamatimu."

Dewi Cinta [Selesai]Where stories live. Discover now