#26

1K 61 4
                                    

Hari pertandingan!

Matahari mulai mengintip dari ufuk timur. Jalanan yang tadinya lenggang, menjadi perlahan padat. Suasana yang sama padatnya juga sama dirasakan oleh seluruh penonton yang kini memenuhi tribun.

Sorak sorai antar pendukung begitu riuh terdengar. Liana bahkan hampir tak mengenali dimana letak para siswa dari SMA nya yang datang memberi dukungan padanya. Hingga saat matanya menangkap sesosok yang seminggu ini ia rindukan, Liana tersenyum.

Setelah melewati berbagai macam hal yang cukup menyayat hati saat papanya melarang ia mengikuti hobinya, hingga kemarin, ia mendapat restu dari papanya untuk melanjutkan hobinya ini. Bahkan papanya menyemangati dirinya untuk memenangkan pertandingan. Dan kini, sosok ayahnya duduk di dekat pelatihnya, memberi semangat padanya.

Bahkan perasaannya bertambah hangat saat matanya kembali menangkap sosok Rifqi di tribun.

Hari ini. Hari yang tidak akan pernah ia lupakan. Tidak akan!

Dan saat wasit mengatakan mulai, ia melambai pada sosok itu terlebih dahulu baru kemudian memulai semuanya dengan perasaan lega. Dengan perasaan jauh lebih baik dari sebelumnya.

Karena hari ini, dimana antara mimpi dan impiannya akan tercapai!

****

"Selamat ya, Liana."

"Lo memang hebat!"

"Lo hebat, Na. Cuma lo yang paket lengkap disekolah kita! Cantik plus jago bela diri."

Ucapan terakhir itu sudah bisa ditebak siapa yang mengatakannya, siapa lagi jika bukan Kent.

"Biasa aja. Masih kerenan gue, but congratulation."

Ketus dan sadis, siapa lagi jika bukan Ben.

Liana sudah banyak menerima ucapan selamat atas medali yang ia raih. Bahkan bukan hanya dari sekolahnya juga dari Jakarta, melainkan dari seluruh peserta juga beberapa juri.

"My lil sist! Bisa dong ajarin abang buat banting hati gebetan biar fokus ke abang aja," goda Genta pada Liana yang langsung memeluk erat Liana.

"Papa mana?" Tanya Liana saat pelukan Genta sudah terlepas.

Genta mengedikkan dagunya kearah papanya yang sedang berbincang dan berjabat tangan dengan pelatihnya. Setelah dilihatnya papanya selesai bicara, barulah ia mendekat.

"Thanks, Pa."

Tito memeluk Liana dan mengelus lembut puncak kepala Liana.

"Maafin papa."

Liana menggeleng.

"Papa nggak perlu minta maaf. Liana udah maafin papa, kok."

Tito tersenyum. Kini akhirnya, setelah sekian lama ia menyimpan rasa bersalah pada putri bungsunya, ia bisa kembali dekat dengan Liana.

Liana melepaskan pelukannya, "Aku temuin temen aku dulu ya, Pa."

Tepat setelah Tito mengangguk, Liana langsung berjalan menyusuri gedung olahraga. Sesekali tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada orang yang memberikan selamat padanya.

"Liana!"

Liana yang tadinya berjalan tergesa mencari Rifqi, kini menghentikan langkahnya saat Viona dan juga Reza berada dihadapannya.

Viona mendekati Liana dan langsung memeluk tubuh gadis itu yang masih dipenuhi keringat.

"Gue minta maaf, Na." Isak Viona.

"Gue emang salah, gue berhak lo pukul atau lo banting aja sekalian. Tapi plis jangan jauhin gue, Na. Cuma lo temen gue, Na."

Liana yang tadinya ingin menghindar kini melemah kala mendengar kata teman. Tangannya yang tadinya menggelantung memegang buket bunga, memeluk balik Viona.

"Gue... maafin. Udah, lo jangan nangis," pintanya.

Viona menjauhkan diri dari Liana. Menghapus jejak airmatanya. Dan mengulurkan tangannya.

"Selamat ya, Na. Gue tau lo pasti menang."

Sempat ragu dan canggung namun akhirnya Liana memilih menerima uluran tangan Viona. "Makasih."

Reza maju mendekat. Menyerahkan satu tangkai mawar merah. "Selamat, Na. Sori cuma satu, karena gue mau cuma gue dihati lo."

Liana menatap Reza tak percaya. Merasa enggan menerima bunga itu.

"Gapapa, gue nggak minta lo jawab. Gue bisa nunggu lama."

Dan saat melihat senyum tulus dari Reza, Liana tak bisa menolak. Ia menerima bunga itu dari Reza, "Thanks."

Setelah berbincang dengan penuh canggung, Liana memutuskan untuk pergi mencari seseorang. Pamit pada Viona dan Reza ia kemudian berjalan keluar gedung. Mencari sosok orang yang selama seminggu ini dengan belagunya tak membalas satu pun pesan dari dirinya.

Dan disanalah dia, cowok jangkung dengan rambut cokelat dan kaos putih dengan hitam dibagian lengannya. Sedang berjalan bersama keempat temannya yang Liana rasa asing, menuju mobil hitam yang Liana tahu itu milik Ayah Rifqi.

"Al!"

Liana berlari mengejar Rifqi yang sepertinya tak mendengar panggilannya.

"Al!"

Setelah panggilan kedua barulah Rifqi berbalik. Menatap Liana yang berjalan cepat menuju tempatnya. Rifqi maju sedikit, agak menjauh dari keempat teman-temannya.

"Huh." Liana mengatur napasnya, menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Mengulanginya beberapakali hingga ia bisa berbicara.

"Mau langsung pulang?" Tanya Liana. Ia mendongakkan wajahnya. Menatap manik mata Rifqi yang keabuan. Dan menitipkan buket bunga yang ia terima pada Rifqi.

Rifqi menerima buket itu dengan diam. Membuat Liana sedikit heran akan sikap Rifqi.

"Udah seminggu kita nggak ketemu, ke sana bentar yuk."

Liana menunjuk tempat duduk dibawah pohon yang rindang. Rifqi menatap Liana sebentar kemudian mengangguk. Rifqi berbalik untuk memberitahu lainnya agar menunggu sebentar.

Entah mengapa, Liana merasa tatapan Rifqi berbeda. Tatapan lembut yang selalu Rifqi tunjukkan padanya seolah hilang. Seolah ada sesuatu yang menegaskan bahwa ia tak bisa digapai.

Dan saat mereka sampai, Rifqi bahkan tak mau repot-repot duduk. Ia memutar tubuhnya sembilan puluh derajat hingga menghadap Liana.

Apa tidak bertemu seminggu bisa membuat perubahan se-begini besar?

Rifqi meletakkan buket bunga tadi kebangku yang ada, kemudian memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Menatap dalam Liana.

Dan saat Liana menatap balik manik mata Rifqi, disitulah ia tahu bahwa...

"Ada yang mau dibicarakan?"

... Rifqi yang sekarang, bukanlah Rifqi yang ia kenal.

[BBS #1] Kita Berbeda Where stories live. Discover now