Alasan [END]

2K 81 24
                                    

Seminggu yang lalu, di Rumah Sakit...

"Gue balik ya?" kata Liana seusai kembali menyusun bantal agar memudahkan Rifqi berbaring.

Liana berbalik dan hendak berjalan, namun harus terhenti karena satu tangan milik Rifqi menahannya.

"Ada apa, Al?"

"Hati-hati." Setelah itu Rifqi melepaskan tangannya. Dan membalas senyuman Liana.

Setelah Liana menutup pintu, Rifqi memejamkan matanya dan mendesah pelan.

Merasa bodoh karena sudah mengatakan perasaannya pada Liana padahal keadaannya masih sakit begini. Mana ada cewek yang mau ditembak saat sicowok sedang sakit? Bukan kah kaum hawa paling senang jika diperlakukan romantis?

Tubuhnya tersentak kaget saat suara pintu terbuka. Ia pikir itu Liana. Baru saja ia akan menanyakan kenapa kembali lagi, namun ia urungkan saat melihat sosok pria yang berwibawa masuk dengan memperhatikannya.

"Om Tito," katanya. Ia berusaha duduk namun Tito menggeleng dan menyuruhnya untuk tetap dalam posisi tiduran saja.

"Bagaimana keadaan kamu?" Suara bariton penuh ketegasan membuat Rifqi tersenyum canggung. Pasalnya dari yang ia tahu, Papa Liana ini tak menginginkan dirinya berdekatan dengan Liana. Entah karena apa.

"Baik, om." Tito mengangguk.

"Kamu sudah lama berteman dengan Liana, bukan?" Tanyanya to the point.

Rifqi mendadak merasa tak enak. Namun tak urung ia juga mengangguk.

"Kalau begitu kamu tahu kalau Liana putri kesayangan saya?" Lagi-lagi Rifqi mengangguk walau sebenarnya kepalanya sedikit nyut-nyutan saat mengangguk.

Tito menarik kursi yang berada disamping ranjang Rifqi ke dekat jendela. Mendudukinya kemudian menatap langit sore.

"Dia putri kesayangan saya. Saya mau yang terbaik untuk Liana. Saya mau ia diperlakukan adil oleh siapa pun. Saya tak mau ia menjadi bergantung pada siapa pun dan saya mau Liana dihargai tidak seperti saya." Tito membuang napas berat.

Melihat sebentar kearah Rifqi yang menunggunya melanjutkan ucapannya kemudian kembali menatap keluar jendela.

"Saya rasa Liana memiliki perasaan lebih pada kamu, bukan begitu?" Tanyanya namun ia tak butuh jawaban, karena tanpa menatap Rifqi pun ia sudah tahu jawabannya.

"Saya tidak mau nasib putri saya seperti saya. Di hina oleh keluarga istri pertama saya yang tak lain ibu kandung Liana. Bahkan saya dihina mertua saya sendiri. Mereka mengatakan saya tidak pantas untuk anak mereka, Nazwa. Nazwa sampai menangis saat mereka terus mengatai saya dan bahkan orangtua berniat akan menjodohkan Nazwa dengan pria lain."

"Saya tidak tega melihat Nazwa yang kadang bertengkar dengan orangtuanya. Saya sadar. Perbedaan diantara saya dan Nazwa bukan untuk menyatukan kami. Dan pernikahan kami adalah kesalahan. Hingga saya memilih untuk menceraikan Nazwa dan memilih untuk membawa Liana bukan Kenzha. Bahkan hingga saya memutuskan pergi pun, saya masih ditolak untuk mencium tangan mereka."

Rifqi menatap sosok Tito yang menatap jauh keluar.

"Dan karena itu saya selalu berusaha untuk menjauhkan Liana dari keluarga istri pertama saya, agar Liana kecil saya tak merasakan perihnya diasingkan hanya karena perbedaan yang ada."

Setelah mengatakan itu, Tito membuang napas panjang. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Rifqi.

"Saya tahu kamu keluarga baik-baik. Bahkan Rino dan Sela menerima Liana dengan baik saat Liana berkunjung kerumah kalian." Tito menjeda ucapannya. Kini matanya menatap Rifqi penuh harap.

[BBS #1] Kita Berbeda Where stories live. Discover now