18.Impossible

4.5K 352 0
                                    

Gehan tersenyum saat mendapat pesan dari Agra yang mengatakan Diba sudah membaik, tapi keningnya mengernyit saat mendapat satu pesan terakhir yang mengatakan Gehan tidak perlu bertanya apa pun pada kakaknya nanti.

Memangnya kenapa?

Gehan menggeleng. Bukankah lebih baik ia mengikuti saran Agra, ini juga demi kebaikan Diba.

Gehan segera turun dari mobilnya saat melihat seorang gadis duduk di halte sambil menangis. Padahal hari sudah mulai gelap dan sepertinya akan turun hujan sebentar lagi.

"Diba?"

Merasa namanya di panggil, Diba mendongak. Ia segera menghapus air mata yang membasahi kedua pipi tirusnya.

"Lo kenapa?"

Diba menggeleng.

"Udah malem. Lo ngapain disini?"

"Nunggu bus."

"Lo mau pulang?"

Diba mengangguk.

Gehan memiringkan kepala seraya mengggaruk lehernya yang tidak gatal dengan ujung kunci mobilnya.

"Bukannya sekarang lo harus kerja?"

Matanya Diba memanas. Bagaimana ia bisa bekerja setelah mendengar kata-kata si boss yang menyakitkan.

"Gu...gue..."

"Kenapa?"

"Gue di...di...di..."

Gehan menghembuskan nafas kasar, "Ngomong yang bener."

Diba mengangkat wajahnya dan menatap Gehan seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya 'mama tadi aku jatuh.'

"Di pecat."

"Oh di pecat."

Oh di pecat.

Oh di pecat.

Oh di pecat.

Apa-apaan Gehan ini? Dia tidak sedih? Bukankah sekarang dia harusnya menenangkan Diba dan memberi solusi?

"Ayo gue anter pulang."

Ajakannya ditolak. Diba menggeleng, "Gue mau disini dulu."

"Jangan ngebantah."

"Suka-suka gu---hmpph"

Dibilang juga apa. Jangan membantah.

Gehan menyumpal mulut Diba dengan tisu yang tadi dibawanya.

"Jorok banget sih, lo!" Hardik Diba lalu melempar tisu bekasnya ke Gehan.

"Makanya jangan ngebantah gue."

"Udah ah sana." Diba mendorong Gehan agar segera menyingkir dari hadapannya, "Gue mau pulang."

"Lah tadi katanya nggak mau pulang, kok sekarang udah mau pulang aja?"

"Karena gue mau!"

"Tapi gue maunya lo disini aja."

"Lo tuh! Ihs kenapa sih bawel banget?"

"Karena gue sayang."

Diba membeku pada ditempat ia berdiri sekarang.
Gehan sudah sering menggodanya dengan kalimat-kalimat manis yang ia lontarkan.
Tapi entah mengapa sekarang rasanya berbeda, jantung Diba memompa dua kali lebih cepat, bahkan sekarang ia dalat merasakan kedua pipinya yang menghangat.

"Gue beneran sayang." Gehan mengucapkannya sambil meraih tangan Diba. Menatapnya dengan lekat.

Sedangkan Diba? Gadis itu hanya terpaku, tidak tahu harus berbicara apa, jangankan menjawab menatap mata Gehan saja dia tidak berani.

Pacar Kontrak | SELESAI |Where stories live. Discover now