SATU

2.6K 318 233
                                    

"Ayo, Bri! Cepetan! Entar keduluan yang lain!" teriak Sadam beberapa meter di depanku. Kami sedang berada di arena lari dekat sekolah. Sadam menunggu giliranku mengoper tongkat. Sebagai pelari kedua, lariku cukup payah. Tapi akan kutunjukkan kepada semua orang kalau aku bisa.

Kuayunkan langkah lebar-lebar. Dan sesaat aku seperti melayang. Kulihat Sadam terperangah melihatku ketika mendekati tikungan, tempatnya berada.

Senyumku melebar dan tatapanku fokus ke arahnya. Kuulurkan segera tongkat kepada Sadam.

"Bagus, Bri!"

Suaranya pelan, tapi cukup untuk aku mendengarnya. Aku tersenyum melihat Sadam, satu-satunya sahabat yang kupunya.

Beberapa saat kemudian, terdengar peluit dari Pak Doni sebagai tanda lari estafet hari Minggu ini telah usai.

"Sabrina!"

Aku menoleh ke arah suara. Suara yang selalu menjadi penyemangatku. Siapa lagi kalau bukan Ayah.

Usai penilaian, aku berlari kecil menghampiri Ayah. Beliau berdiri di tepi lapangan dengan senyum yang selalu meneduhkan hatiku.

"Ayah...," napasku sedikit terengah tapi senyumku tak berhenti terulas.

Ayah memelukku. "Ayah bangga sama kamu, Nak." Lalu, diciumnya puncak kepalaku.

Aku menciumi telapak tangan Ayah. Entah mengapa hal itu membuatku tenang. "Makasih, Yah." Aku memandangi lelaki berusia 42 tahun ini dengan penuh sayang. Sayangku kepadanya tak bisa tergantikan oleh siapa pun.

"Dari kapan Ayah di sini? Aku bisa pulang sendiri, kok. Hmm," aku menoleh ke kiri dan ke kanan, "Mama mana?"

"Ini minum dulu." Ayah mengulurkan botol minum kepadaku dan mengajakku duduk di kursi kayu dekat pohon.

Aku meminum beberapa teguk dan kembali menatap Ayah.

"Bri!" panggil Sadam.

Melihat dia menghampiriku bersama Pak Doni, aku dan Ayah langsung berdiri.

"Halo, Om." Sadam menyalami tangan Ayah. "Apa kabar, Om?"

"Baik." Ayah tersenyum. Beliau juga bersalaman dengan Pak Doni.

Kulihat Sadam tengah mengacak-acak rambutnya sendiri, lalu melemparkan poninya. Aku tidak habis pikir tentangnya. Sempat-sempatnya dia melakukan itu di depan orang tua. Aku ingin sekali mencubit tangannya. Tapi...

"Aww... Bri sakit!"

Aku menginjak kakinya. Senyum kemenangan terukir di wajahku. Melihatnya menderita kurasa lebih baik daripada melihat adegan dia melemparkan poninya. "Eh, ada Pak Doni." Aku menyengir lebar tanpa ada rasa bersalah kepada Sadam. "Ada apa, Pak?"

Pak Doni berdeham. "Begini Sabrina. Sekolah kita beberapa bulan lagi akan mengadakan seleksi anggota pelari untuk mengikuti O2SN atau Olimpiade Olahraga Siswa Nasional."  

Aku menoleh ke arah Ayah dengan tatapan tanda tanya.

Pak Doni menepuk pundakku. "Beberapa hari belakangan saya lihat nilai larimu meningkat. Maka dari itu, saya bermaksud untuk mengajakmu untuk menjadi salah satu peserta yang mewakili SMA Arcapella." Kulihat dia tersenyum. "Bagaimana Sabrina?"

"Ambil aja, Bri," sahut Sadam. "Kesempatan enggak datang dua kali, lho!"

"Ayah...." Tatapanku memelas antara lelah dan senang ke arahnya. Kuharap Ayah bisa memantapkan hatiku yang sekarang tengah bimbang.

Ayah menatapku hangat. "Benar kata Sadam, Sabrina. Ini peluang bagus untukmu. Ayah akan dukung sepenuhnya buatmu, Nak."

"Sabrina," panggil Pak Doni, membuatku melihat lagi ke arahnya. "Semua keputusan ada di tanganmu. Sekolah pun menaruh harapan besar denganmu."

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now