ENAM

825 149 142
                                    

"SABRINA!!"

Aku hafal sekali dengan suara itu. Dan suara itu bukan berasal dari tempatku dan Sadam berada, melainkan dari rumah. Itu suara Mama.

Kubuka mata perlahan. Aku segera bangun dan melihat jam dinding. Pukul 19.35. Ternyata aku sudah tertidur selama 15 menit. Tentunya 15 menit itu tidak sebentar untuk Mama.

Aku mengambil jaket hitam di lemari dan mengantungi ponsel di saku jaket. Aku keluar kamar dan segera menuruni tangga. Mikha dan mamanya masih ada rupanya. Sekarang mereka sedang bersenda gurau dengan Mama di ruang makan. Ayah dan Mia pun ada di sana tengah menikmati makan malam.

"Ada apa, Ma?" tanyaku ketika menghampiri Mama.

"Sabrina, sini makan dulu," sahut Ayah.

"Iya, Yah." Perutku kosong dari tadi siang. Kasihan cacing-cacing di dalam. Pasti sudah mati kelaparan karena dari tadi tidak berbunyi.

Kulangkahkan kaki menuju kursi kosong dekat Ayah. Asal kalian tahu, kursi itu mutlak milikku.

"Kamu ngapain aja sih di kamar? Lama banget. Bukannya bantuin." Mama menghentikanku untuk menyeret kursi. Itu tanda aku belum boleh duduk.

"Aku belajar, Ma. Besok ada ulangan."

"Ah, alasan."

Aku terhenyak. Tapi sebaiknya aku tidak banyak bicara.

Mama mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. "Beli minuman soda di mini market depan!"

"Ha?" Aku sepertinya benar-benar belum pulih dari rasa kantuk rupanya hingga tampak seperti orang bodoh saat merespons Mama. Dan mungkin muka bantal di wajahku terlalu kentara sampai-sampai Mikha menertawakanku. Argh....

"Kamu enggak denger tadi yang Mama bilang?"

"I-iya, Ma." Niat untuk mendapatkan asupan energi hilanglah sudah. Aku segera menghampiri Mama.

"Sabrina, makan dulu!" Ayah mencegahku. Tangan kokohnya mencengkram tanganku.

"Tapi, Yah—"

"Beli sekarang atau Mama enggak bolehin kamu makan!"

Aku ingin menangis saat ini juga. Ini semakin parah. Tidak satu pun yang dapat menolongku, kecuali diriku sendiri. "Ayah, maaf. Bri pergi dulu." Aku melepaskan genggamannya Ayah dari tanganku.

Lalu, aku melangkahkan kaki lebar-lebar menuju pintu. Akhirnya aku dapat bernapas lega setelah aku keluar. Dan ternyata di luar lebih enak daripada di dalam rumah.

Aku menyusuri jalan menuju mini market dengan santai. Biarkan saja mereka menunggu. Aku penat.

Sepanjang jalan kutemukan tukang sate, sekoteng, nasi goreng, bakso, dan jajanan anak-anak. Aku melihat anak-anak kompleks bermain kembang api. Melihat betapa gembiranya mereka, rasanya aku ingin sekali menjadi mereka. Mereka yang bebas tertawa, berlompatan, bermain kejar-kejaran, dan berlarian tanpa beban. Andai....

Sadam! Ya, aku harus memintanya. Kuambil ponsel dan segera mengetikkan tujuanku.

Bri: Sadam, kapan punya waktu?

Sadam: Tumben lo nanya kapan gue  pny waktu. Gue kan sll ada buat lo.

Aku mengernyit. Ini cowok kenapa, sih?

Bri: Gombal. Belajar sana. Main hape mulu -_-

Sadam: Nyantai. Gue kan jenius.
Jadi, tuan putri butuh apa? Mahkota?

Bri: Mahkota?
Gue enggak pantes dapetin itu.
Temenin gue main kembang api, yuk!

Sadam: Kenapa? Semua cewek bisa jadi putri, kok.
Kapan? Skrg? Ayo!

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang