SEBELAS

692 114 45
                                    

Mama menamparku. Entah salahku apa, tapi kenyataannya memang begitu. Setelah aku masuk ke rumah tiba-tiba saja mendarat sebuah tamparan keras di pipi kananku. Bayangkan saja aku baru masuk rumah dua langkah, bahkan ucapan salamku belum usai, aku sudah ditampar.

Tubuhku yang tak siap, langsung jatuh tersungkur. Mataku seketika buram. Ingin sekali aku melawannya. Tapi aku sudah tidak kuat. Aku lelah. Maka kubiarkan Mama berteriak memarahiku.

Sadam tentu saja langsung menolongku saat aku terjatuh. Mungkin dia terkejut dengan perlakuan Mama kepadaku karena baru kali ini dia melihat langsung.

"Dasar anak enggak tahu diuntung!" Mama berteriak seolah dunia ini hanya miliknya seorang. "Pulang sekolah malah keluyuran!" Selanjutnya Mama memukul lengan kanan atasku bertubi-tubi.

"Ampun, Ma ... Maaf... Sa-bri-na...." Aku mulai kesulitan bernapas. Sungguh aku ingin mati saat ini juga. Aku menangis pun percuma. Mama sudah mati rasa terhadapku.

Sepertinya Sadam kebingungan bagaimana menolongku. Maka, kuraih jemarinya dan menangis dalam diam.

Hingga akhirnya aku melihat sosok cewek dengan hoodie merah. Oh, jadi dia yang melapor ke Mama.

"Sadam sayang, kamu ngapain sih nolongin dia?" Mikha menarik tangan Sadam. "Mending kita duduk di situ. Biar Sabrina tahu ganjarannya."

Mama masih saja memukuli. Ma, aku punya salah apa?

"Mikha!" Sadam menghentakkan tangannya dari genggaman Mikha. "Tolong diam! Gue bukan siapa-siapa lo!"

Mikha mundur selangkah dan terpaku.

Pandangan Sadam beralih ke Mama. "Tante, cukup!"

"Mama belum puas, Sadam. Biarin aja," kataku dengan suara pelan. Pelan sekali. Aku sudah benar-benar lemas sekarang. Rasa sakitnya sudah tak berpengaruh. Aku tinggal menutup mata dan selesai.

"Tante! Saya bakal lapor polisi kalau Tante enggak berhenti mukulin Sabrina!"

Tangan Mama tergantung di udara.

Lalu, terdengar derap sepatu mendekat dari arah pintu. Hatiku merasa sedikit lega. Malaikatku telah datang. Ayah....

"Assalam-" Ayah melihatku sudah tak berdaya. "Sabrina!" Ayah menjatuhkan tas kerjanya, berlari ke arahku, dan memelukku. "Ya Allah... Maafin Ayah, Nak!" Ayah mencium puncak kepalaku berkali-kali. "Kamu enggak apa-apa?"

"Enggak apa-apa, Yah," jawabku sementara air mataku tak hentinya keluar. Tangan kananku sudah tak bisa bergerak. Rasanya sakit, perih, dan kaku. Bagaimana aku menulis nanti?

"Bri, jangan bohong!" kata Sadam. "Om, tadi Bri dipukulin sama Tante berkali-kali."

Aku hanya bisa diam. Aku tak kuat lagi.

Ayah melihat ke arah Mama. Tapi sepertinya Ayah mendapati sosok lain tak jauh dari Mama. "Siapa kamu?"

"A-aku?" Mikha gelagapan. "Oh, aku temennya Sadam, Om." Dia mendekati Sadam. "Sadam, ayo pulang!"

"Kata siapa lo temen gue? Gue kenal lo aja kagak!"

Bagus!

"Yang enggak berkepentingan, bisa pulang!" Ayah mengusir Mikha. Tak lama, Mikha menghentakkan kakinya keluar. "Sadam, bawa Sabrina ke kamarnya! Mama ikut Ayah!"

Tanpa berkata apa pun, Sadam langsung mengangkat tubuhku setelah memakai tasku di punggungnya.

"Ayah mau apa? Anak kayak gitu enggak usah dibelain." Mama berteriak lagi. "Mau jadi apa dia kalau enggak mau diatur? Dia juga bukan-"

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ