DUA (a)

1.5K 256 171
                                    

Kami memasuki sebuah restoran di kawasan Jakarta Pusat. Tangan kananku tak lepas barang sedetik pun dengan Ayah, sedangkan tangan yang lain menggenggam sebuket bunga mawar merah muda.

Kami langsung berjalan menuju meja tempat Mama berada.

"Maaf kelamaan ya nunggunya?" tanya Ayah. Beliau langsung duduk di bangku yang berseberangan dengan Mama.

Aku menyalimi punggung telapak tangan Mama dan Mia. Lalu duduk di kursi kosong sebelah Ayah.

"Udah pesan makannya?" tanya Ayah lagi.

Aku masih memikirkan tentang hal yang tadi. Ada hubungan apa sebenarnya Ayah dengan perempuan itu? Aku yakin kalau ini bukanlah sekedar persahabatan biasa. Aku harus mencari tahu masa lalu Ayah. Tapi bagaimana caranya?

"Sabrina!"

Suara Mia disertai jentikan jarinya tepat di hadapan wajahku, membuat pikiranku kembali mendarat. "Eh, i-iya?"

"Kalau ditanya tuh dijawab!"

"Maaf, Kak."

"Kamu mau makan apa? Buruan!"

"Kentang goreng aja. Sausnya mayones."

Perihal Mia. Usianya terpaut lima tahun di atasku. Sekarang dia tengah menempuh kuliah di Universitas Terbuka, jurusan Ilmu Komunikasi. Karena sistem perkuliahannya mandiri, dia juga mengambil sekolah mode di lain tempat. Kuharap kuliahnya tak terbengkalai.

"Kamu makannya itu aja? Enggak mau makanan berat?" Ayah menatapku cemas. "Tadi habis olahraga, lho. Makan, ya."

"Udahlah, Yah. Kalau enggak mau makan, ya udah." Mama mengatakannya sambil mengetik sesuatu di ponselnya. "Ngapain juga dipaksa?"

Lagi. Napasku tertahan setiap Mama berkata demikian. Tidak aneh lagi bagiku. Hal seperti ini sudah menjadi santapanku setiap hari. Entah karena apa. Tapi perlakuan Mama terhadapku selalu berbeda dengan perlakuannya dengan Mia.

Cewek berambut panjang dengan kulit putih bersih terawat di hadapanku ini selalu mendapat peringkat nomor satu di hati Mama. Dia bisa dibilang sempurna karena memiliki sikap yang baik.

Iri? Jelas aku iri. Karena Mama selalu mengistimewakannya.

Tapi selama aku masih bisa mendapatkan kasih sayang dari Ayah, kurasa itu cukup.

Selanjutnya aku diam. Aku akan bersuara saat diperlukan. Seperti biasa. Mungkin ini yang membuat karakter pendiam tertanam dalam diriku.

Hanyalah dengan Ayah dan Sadam aku bisa terbuka.

Aku mengambil botol minum dari ransel, lalu meminum airnya hingga tandas.

"Kamu enggak berubah ya, Sabrina. Enggak bisa jaga sikap. Beda banget sama Mia." Mama membelai wajah Mia dengan lembut seakan mengelus porselin mahal.

Mendengar celetukan Mama kali ini membuatku ingin cepat pulang. Sungguh aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku siap meluncur kapan saja dia mau.

"Ma, jangan begitu sama Sabrina! Dia kan juga anakmu."

Aku bersandar dan menunduk saat Ayah berkata setegas itu untuk membelaku. Selera makanku menguap. Aku ingin pulang saja. Ah, bukan. Aku harus bertemu dengan Sadam.

Beberapa detik kemudian, pesanan datang. Untung saja makanan datang. Setidaknya aku bisa sedikit melepas rasa ketegangan yang ada di pundakku.

"Ah, udahlah. Ayo, cepat makan! Mau ada tamu ke rumah."

Suasana makan berlangsung hening. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Mia. Dia tampak tak terusik dengan omelan Mama.

"Gimana dengan sekolahmu, Mia?" tanya Ayah.

"Baik, Yah. Tadi aku juga dapet tawaran casting bintang iklan."

"Oh, ya? Selamat kalau begitu." Ayah tersenyum. "Tapi jangan dilupain tugas utamanya ya, Mia."

"Pasti dong, Ayah." Mama mengambil alih jawaban. "Mia kan selalu bisa bagi waktu. Iya kan, Mia?" Mama menepuk bahu Mia dengan bangga. "Pokoknya Mama akan selalu dukung apa pun kegiatan Mia."

"Makasih, Ma."

Mama mengecup kening Mia, membuatku berpikir kapan terakhir Mama memberikanku sebuah kecupan?

Dalam hati, aku menangis. Aku rindu, Ma. Sampai kapan Mama seperti ini ke aku?

Air mataku menetes. Kentang goreng di mulutku tiba-tiba susah tertelan. Entah karena apa. Tapi kurasa aku semakin tersudut di sini.

Bagaimana tidak? Aku hanyalah cewek dengan rambut sebahu. Berwajah bulat dengan mata cokelat gelap. Kulit putihku menjadi sedikit cokelat karena terbakar sinar matahari. Dan lihat! Tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku.

"Sabrina, kamu nangis?" Suara Mia menyadarkanku. Tangannya terulur ke arahku. Tentu saja buru-buru kuhapus air mata yang menggenang di pipi.

"Eh, enggak kok, Kak. Aku cuma kecapekan aja. Mataku biasanya berair kalau udah kecapekan." Senyumku terulas tipis. "By the way, selamat ya, Kak. Semoga semuanya berjalan lancar."

"Makasih, Bri." Mia tersenyum, lalu melanjutkan makannya.

"Kamu harus kayak Mia, Sabrina!" Mama mengatakannya dengan nada yang tidak enak didengar sampai-sampai aku berpikir tentang apa kesalahanku kepadanya. Mama mengelus rambut Mia. "Coba kamu lihat dia. Cantik dan pintar. Mama bangga sama kamu, Mia."

Lagi-lagi napasku tertahan. Sesak rasanya.

Aku menoleh ke arah Ayah. Berharap Ayah mengetahui apa yang kurasakan saat ini.

Kuturunkan tangan kiriku dari meja. Tak butuh waktu lama, untuk Ayah tahu kalau aku butuh dirinya. Dia menurunkan tangannya dan menggenggam jemariku.

"Ayah bangga dengan kalian berdua." Ayah membawa genggaman kami ke atas meja, membuatku bingung antara senang dan takut. Dia melihatku sambil tersenyum, lalu kembali memandangi Mama dan Mia. "Tadi waktu Ayah jemput Sabrina, guru olahraganya nawarin dia untuk mewakili sekolahnya dalam rangka Olimpiade Olahraga Siswa Nasional."

Dengan bangganya Ayah merangkulku dan mencium kepalaku.

Perbedaan antara aku dan Mia sangat mencolok, kan? []

♡♡♡

Holaaa ^^

Gimana cerita Rabu-nya? 

Nyariin Sadam, ya? Ada, kok. Muehehee

Makin penasaran? Hohohoo tenang. Jangan sedih. Aku bakal posting dua kali biar kamu tambah baper... XD *kibas rambut

Aya

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now