ENAM BELAS

486 85 6
                                    

Aku melihat arloji di pergelangan kananku. Waktu menunjukkan pukul 11.07. Itu berarti sudah lama aku tertidur. Kenapa enggak ada yang bangunin, sih? Heran deh. Masa aku ditinggalin. Atau jangan-jangan acara sudah selesai? Tapi jam segini harusnya acara masih berlangsung, pikiranku mulai ribut. Aku segera duduk dan mengendalikan pikiranku.

Kulihat ke arah meja sambil merapikan penampilanku. Makanan kecil di meja masih tertata rapi. Belum ada yang bergeser satu barangpun. Masih sama seperti saat kutinggal tidur satu setengah jam yang lalu.

Sinar matahari cukup menyilaukan mata saat aku menyibakkan tirai.

"Ha... ha... ha.... Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus berjanji akan menyerahkan anak itu!"

Mendengar suara Sadam membuatku menoleh ke sisi kosong ruang kelas. Cowok berbaju hitam itu sedang membacakan cerita kepada anak-anak yang duduk menghadapnya. Tapi ada yang berbeda dengan penampilannya. Dia terlihat memakai sarung di balik punggungnya dan diikat ke lehernya. Apa itu? Jubah? Aku tersenyum melihatnya.

Di atas kepalanya terdapat mahkota yang terbuat dari lipatan kertas origami berbentuk segitiga. Segitiga itu disusun hingga menjadi sebuah lingkaran. Entah mengapa dia terlihat begitu tampan meski hanya begitu.

"Baik, Raksasa. Akan aku tepati janjiku," kata Ira yang duduk tepat di sisi kiri Sadam.

Oh, Sadam jadi raksasa ternyata. Penampilannya bak seorang pangeran, ternyata hanyalah seorang raksasa. Ingin sekali aku tertawa saat ini juga, tapi sebaiknya kutahan daripada menghancurkan momen mendongengnya.

Dari dialog yang kutangkap, mereka sedang bercerita tentang Timun Mas. Dan sampai sekarang belum ada yang sadar dengan kehadiranku rupanya. Jadi sebaiknya aku tetap berdiri di tempat, menyaksikan mereka.

"Raksasa itupun berlalu dari hadapan Ibu Timun Mas. Ibu Timun Mas kembali bingung mencari cara lain. Setelah berpikir keras, akhirnya ia mendapatkan cara untuk menyelamatkan anaknya dari santapan raksasa itu. Ia akan meminta bantuan kepada seorang pertapa yang tinggal di sebuah gunung," kata Icat kali ini. Dia membaca narasi cerita layaknya seorang narator handal.

Kulihat Adera di samping Icat tengah memangku Luki. Lelaki kecil itu sudah tertidur pulas rupanya.

"Anakku! Besok pagi-pagi sekali, Ibu akan pergi ke gunung untuk menemui seorang pertapa. Dia adalah teman almarhum suami Ibu. Barangkali dia dia membantu kita untuk menghentikan niat jahat raksasa itu."

Tunggu! Aku baru menyadari satu hal. Siapa yang jadi Timun Mas-nya?

Hening. Tak ada satu pun yang berbicara. Ampun deh....

"Ya, Bu. Ibu benar!" Akhirnya aku bersuara. Semua mata langsung tertuju kepadaku. Senyumku mengembang sekilas. Rupanya mereka menungguku, si Timun Mas, keluar dari sangkarnya. "Kita harus membinasakan raksasa itu," lanjutku sambil menghampiri mereka. "Timun tidak mau jadi santapannya!"

Aku duduk di samping Angel yang berada tepat di hadapan Sadam. "Tapi, kalau raksasanya ganteng kayak dia sih," mataku menatap Sadam, "aku mau, Bu."

Selanjutnya semua kami tertawa, kecuali Sadam.

"Jangan serius gitu, Dam. Lagian lo jadi raksasa, tapi ganteng gitu. Aneh banget, sih," kataku sambil membalas pelukan Angel.

"Dan akhirnya, Raksasa dan Timun Mas pun hidup bahagia," Icat mengakhiri narasinya.

Angel dan anak-anak lain pun bertepuk tangan dan bersorak, membuat pipiku memanas.

Sadam tersenyum melihatku. Dia menunjuk pipinya dan berkata, "Pipi lo merah."

Refleks aku langsung menutup kedua pipiku dengan kedua tangan.

"Baiklah. Sekarang Ibu lapar." Ira berdiri. "Siapa yang mau ikut makan?"

"Saya!" Semua anak mengangkat tangan serentak. Tak terkecuali Luki. Dia sudah bangun rupanya. Dia juga tak kalah semangatnya dengan yang lain.

"Wah, ternyata anak Ibu banyak ya! Ada berapa ini? Coba Ibu hitung dulu." Ira berkomat-kamit menghitung. "Ada sepuluh! Wah... Komandan Icat, udah siap kan semuanya?"

Icat berdiri dan memberi hormat kepada Ira. "Beres, Bu!"

"Oke, kita masuk ya. Tapi jangan rebutan. Kita harus mengantre. Bisa?"

"Bisa, Bu...," jawab mereka serempak. Selanjutnya anak-anak itu langsung berbaris dan masuk ke kelas untuk mengambil makanan.

"Ayo, Bri. Makan dulu," kata Adera.

"Eh, iya, Kak. Nanti aku nyusul." Aku tersenyum kepadanya. Sampai akhirnya senyum itu pudar ketika aku melihat Sadam.

"Raksasa gue kenapa? Kok tiba-tiba suntuk gitu." Aku duduk bersila di sebelah Sadam sambil bertopang dagu. "Raksasa beneran pengen makan aku, ha?"

"Gue kok tiba-tiba ngerasa capek ya, Bri?"

Mataku membulat. "Kenapa, Dam? Lo sakit?" Kuperiksa dahinya. Normal. "Kok enggak bilang, sih? Kalau capek, mending tadi enggak usah ikut." Kuraih telapak tangannya dan menggenggamnya. "Kita pulang aja, ya!"

"Enggak, Bri. Nanti aja. Toh acaranya belum selesai, kan? Gue juga mau nganterin lo beli kue, kan."

"Ih, aneh banget sih lo. Lo biasanya paling semangat dibanding gue, Dam. Sekarang lo kayak gini kan jadinya gue enggak semangat juga." Bahuku tiba-tiba merosot seolah energiku hilang karena tertular Sadam.

"Kadang gue mikir. Gue itu selalu nyusahin orang," kataku lagi. "Dan entah sejak kapan, gue ngerasa kalau gue itu nyusahin lo."

Sadam menatapku.

"Lo ngerasa enggak sih kalau gue jadi ketergantungan sama lo?"

"Lho, kenapa? Selama ini gue nyaman-nyaman aja sama lo. Gue juga enggak pernah ngerasa lo bebanin, kok. Pokoknya, selama gue suka, gue bakal ngelakuin apa pun untuk itu." Dia mengambil sesuatu di sisinya yang lain; sebuah mahkota kertas, untukku.

Hatiku menghangat. Rasanya seperti ada ribuan bunga yang bermekaran di dalam perutku saat Sadam memakaikan mahkota tersebut ke atas kepalaku. "Berarti lo suka gue dong, Dam?" []

***

Hai, aku lupa gimana caranya aku menyapa kalian. Maaf. Aku update sebisaku aja, ya. Karena GDM-ku masih suka kambuh.

Dan... hahahaa ternyata rasanya pingsan itu begitu, ya! Lupa semua caranya bergerak, bahkan membuka mata.

 hahahaa ternyata rasanya pingsan itu begitu, ya! Lupa semua caranya bergerak, bahkan membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Salam Sayang,

Aya

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang