LIMA

991 153 109
                                    

Usai salat Isya, aku langsung meraih tas dan mengeluarkan semua buku yang ada di dalamnya.

"Penjaskes, Sejarah, MTK, Geo, Bahasa Prancis." Kubaca daftar pelajaran yang tertempel di meja. Lalu, aku duduk. Akhirnya bisa duduk dengan tenang.

Hanya di kamar aku bisa mendapatkan ketenangan. Tanpa ada siapa pun.

Kubuka halaman buku paket Matematika dan mulai berkelut dengan para angka ini. Ini adalah pelajaran yang kubilang 'ya sudahlah. Emang segitu kali jawabannya' ketika aku tidak menemukan jawabannya. Pasrah banget, ya?

Sesaat aku tergelut dalam tugas bab Trigonometri ini. Sesekali aku bersin. Bersin itu semakin jadi ketika aku mengucek hidung hingga merah. Aku kesal. Kalau begini aku harus minum teh manis panas, lalu tidur. Tapi masih banyak yang harus aku kerjakan.

Drrrttt... drrrttt...

Ponselku berikut bergetar di atas tempat tidur. Dengan malas aku beranjak dari meja belajar menuju tempat tidur. Kuraih benda mungil itu setelah merebahkan tubuh dan menggeliat.

SADAM: Bri, lo gpp, kan? Yg tadi beneran Mikha? Diapain aja lo sama dia? O ya, besok ulangan Sej sama praktek basket.

SABRINA: Sadam, gue gpp, kok :')

Iya itu Mikha. Kayak lo enggak tau aja dia gmn sama gue :p

Kayaknya tu orang pny dendam deh sm gue, tp gue enggak tau salah gue apa.

Aduh... Sadam ganteng, lo jgn ngingetin gue sm ulangan dong. Gue pusing, nih :'(

Mataku mengerjap-ngerjap. Rasa kantuk mulai menguasaiku. Tidur sebentar boleh, kan? Janji. Ini tidak akan lama.

Aku melihat jam dinding yang terempel di dinding seberang tempat tidur. Pukul 19.20.

Apa tamunya udah pulang? Aku boleh tidur kan, Ma?

Tangan kananku terkulai dengan posisi memegang ponsel. Genggamanku perlahan mengendur. Dan aku bertemu dengan dunia abu-abuku.

Kuingat malam itu, seseorang yang menyentuh bahuku tiba-tiba saat aku menangis. Aku tak berani membuka mata sampai akhirnya dia menyebut namaku.

"Bri, ini gue. Sadam."

Detak jantungku yang semula berdegup cepat perlahan normal kembali. "Sadam?"

"Iya ini gue." Diturunkannya kedua tanganku yang menutup wajahku. Dia mengusap keningku. "Kenapa lo ada di sini?"

Aku mengerjap mendengar pertanyaannya. Sesekali aku terisak. "Apa lo bilang? Ngapain gue di sini?"

Sadam mengangguk.

Kupukul dadanya yang bidang itu. Begitu pula tangannya. "Jahat lo, Dam, sama gue!" Aku berteriak sambil menangis. "Lo tega nyiksa gue! Jahat! Jahat! Jahat!"

Sadam langsung menangkap tanganku, sedangkan aku memberontak. Aku benar-benar kesal kepadanya.

"Bri, bilang ke gue ada apa?" Sadam bilang begitu ketika aku sudah berada di dekapannya. Dia terus mengusap punggungku dan tangan yang lainnya mengelus kepalaku.

"Lo ke mana aja, Dam? Gue nyariin lo."

Sadam melepaskan dekapannya dan menatapku. "Maaf, Bri. Gue tadi ke rumah Neo."

Aku menggeleng. "Lo jangan bohong. Tadi gue nyari lo ke rumah Neo. Dia bilang lo enggak ke situ."

Dia menunduk.

Kuperhatikan ada luka lebam di wajahnya. "Sadam." Kuangkat wajahnya dengan hati-hati. "Lo abis berantem?"

Bukannya menjawab, dia malah tersenyum dan mencubit pipiku. "Gue enggak apa-apa, Bri."

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن