TIGA BELAS

547 91 8
                                    

"Latihan sampe jam berapa?" Sadam melihat arloji di tangan kanannya, lalu menatapku.

Aku hanya mengedikkan bahu, tanda tak tahu.

"Pokoknya tunggu sampe gue dateng ke sini dan bawain tas lo, Bri." Tatapannya mengarah kepada Arista. "Ri, tolong jagain Bri, ya! Gue enggak mau dia tambah parah tangannya."

Langsung saja aku mendorong bahunya main-main dengan tangan kiri. "Lebay amat sih lo, Dam. Udah deh. Gue itu enggak apa-apa."

Sadam berdecak. "Lo sih enggak apa-apa, tapi hati lo yang kenapa-kenapa."

"Cieee, yang diperhatiin." Koor cieee dari Arista langsung membuat pipiku memanas. Tangannya tak bisa diam. Dia terus menyikutku. "Ya ampun, Bri! Pipi lo kenapa? Kok merah? Kebakaran, ha?"

Segera saja kulemparkan tatapan ganas untuknya. Alih-alih dia terdiam karena tatapanku, tawanya malah pecah. Kulihat Sadam juga tersenyum. Manis. Jantungku kini berdetak lebih cepat. Aku pun tertunduk malu.

Ya Tuhan, sejak kapan hatiku menjadi lemah di hadapan Sadam?

Arista melingkarkan tangannya di pundakku. "Tenang, Dam. Sherina lo pasti gue jagain."

What? Siapa lagi itu Sherina? Pemeran utama di film Petualangan Sherina, he? Aku bukan dia....

Mataku terpejam rapat, menahan amarah atas kelakuan Arista yang berhasil mengacak-acak perasaanku.

"Udah. Jangan marah gitu, ah. Entar Sadam-nya makin sayang, lho!" katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku menghela napas. Rasa-rasanya Sadam sudah menghilang dari hadapanku karena aroma parfum maskulinnya menghilang. Lalu, kubuka mata dan benar, dia sudah menjauh. Dia kini tengah berjalan ke arah lapangan untuk menemui Pak Doni guna meminta izin perihal diriku.

Andai Sadam tahu betapa baiknya dia terhadapku sampai-sampai tak ada lagi cowok yang kupikirkan selain Ayah dan dirinya.

Apa mungkin aku menyukainya? Kepalaku tanpa sadar menggeleng. Enggak. Enggak mungkin. Bisa-bisa aku ditertawakan olehnya karena termakan dengan omonganku sendiri. Argh....

"Woy!" Jentikan jari Arista lengkap dengan suaranya membuatku berkedip dan menoleh kepadanya. "Wah, Bri. Kayaknya beneran ini lo sakit deh." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ayo, ke UKS!" Dia menggamit tanganku. "Gue obatin hati lo."

***

"Sekarang cerita sama gue, tangan lo kenapa?!" kata Arista setelah aku duduk di salah satu kursi dekat jendela. Dia mengambil kotak obat yang diberi oleh suster jaga. Tapi tak lama kemudian, suster jaga izin keluar untuk pergi ke mushalla hingga hanya tersisa kami berdua di UKS.

Aku berpikir sejenak. Setelah kejadian di kelas tadi, dia masih bisa bersikap santai seperti ini? Bukankah dia bersedih atas kematian ayahnya?

"Kenapa? Kok lo diem?" Dia menatapku setelah beberapa saat memberi obat di atas luka lebamku.

"Ha? Oh, enggak apa-apa kok, Ri." Pasti mukaku saat ini seperti orang bodoh di hadapannya. Argh....

"Pasti di pikiran lo nanya tentang keadaan gue deh." Arista menggulung perban di tanganku dan merekatkannya dengan plester. Lalu, dia duduk di sisi kananku. "Itu kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya pas gue SMP."

Aku menatapnya penuh. Dan sudah siap sekali untuk menjadi tameng untuk kesedihannya. Barangkali nanti dia butuh sandaran jikalau dia menangis.

"Saat itu, perusahaan yang Bokap tangani sedang jaya-jayanya. Dan gue inget banget kalau waktu itu Bokap bilang mau bagi hasil sama karyawan yang udah bantu dia. Termasuk bokapnya Mikha."

"Gimana ceritanya lo bisa kenal Mikha?" Aku tak bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan. Karena hanya akan sia-sia saja nantinya kalau Arista tetap membicarakannya. Aku pun sebenarnya penasaran tentang asal muasal dia mengenal Mikha.

"Awal ketemu Mikha?"

Aku mengangguk.

"Waktu acara gathering dari kantor Bokap. Gue SD kelas 5. Dan gue emang udah enggak suka ngelihat dia sejak pertama kali."

"Kenapa?"

"Aduh, Bri. Masa lo enggak bisa bayangin, sih? Manjanya itu lho keterlaluan. Dikit-dikit ngerengek ke ortunya. Dih, cewek apaan tuh kayak gitu." Matanya mendelik kesal. "Iya sih masih SD, tapi kan," dia melemparkan pandangan lurus ke depan, "argh, rasanya gue pengen banget jambak rambutnya tadi, Bri."

Aku menepuk pundaknya. "Sabar, Ri. Sabar...."

"Kenapa harus ada cewek kayak dia di dunia ini, sih?"

Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku sambil terus mengelus pundaknya.

"Pokoknya gue harus kasih dia pelajaran. Biar dia tahu kalau dia harusnya enggak kayaknya gini. Dia udah enggak pantes, tahu enggak? Terlebih sama lo. Mau jadi apa dia?" Arista mendesah. "Enggak selamanya semua yang dia mau bakal bisa dia dapetin kalau dia kayak gitu terus, Bri."

Aku berusaha mencerna semua perkataannya dengan baik.

"Lo tenang aja. Gue pastiin dia enggak bakal gangguin lo lagi." Arista menepuk bahuku. "Lo enggak usah khawatirin gue." Dia tersenyum. "Gue cuma mau dia tahu. Dan tadi emang gue rasa itu waktu yang tepat buat ngasih tahu dia. Bodo amat deh dia jadi bahan omongan satu sekolah. Biar dia tahu rasa!"

Aku menghela napas. "Thanks, Ri."

"Buat?"

"Buat cerita lo tadi."

"Oh, itu." Arista tersenyum. "Makasih udah dengerin cerita gue. Tapi janji jangan sebarin cerita itu ke yang lain, ya!"

"Siap, Bos!" katanya sambil mengacungkan ibu jari tangan kiriku.

"Nah, sekarang giliran lo yang cerita. Kayaknya ada yang lo sembunyiin beberapa hari belakangan ini dari gue, ya?" Mata hitamnya seperti tengah mengintai sesuatu yang berharga dariku.

"Yakin mau denger cerita gue?"

"Ya iyalah, Bri. Masa cuma Sadam yang tahu, gue enggak. Gimana gue mau nolongin lo kalau gue enggak tahu apa-apa tentang lo?"

Aku mendesah. "Oke gue cerita. Tapi lo jangan kebawa emosi, ya! Jangan kasih tahu yang lain juga. Ini cuma lo dan Sadam yang tahu."

"Iya, iya. Cepetan yaelah, Bri. Keburu Pak Doni manggil kita."

Aku terkekeh. "Tenangin diri lo dulu."

Arista memutar matanya. Dia mulai merasa jenuh sepertinya. "Udah."

"Nyokap gue mukul gue, Ri."

"Ya Tuhan. Kok bisa, sih? Emang lo ngelakuin apa?"

Selanjutnya, aku menceritakan semuanya yang terjadi di rumah pada hari itu. Dan kudapati mata yang mulai basah di wajah Arista ketika aku usai bercerita. Aku mengernyit. "Lho, kenapa nangis?"

"Bri," katanya seraya menghapus air matanya.

"Ya?"

"Gue boleh meluk lo enggak?"

Aku mengangguk sekilas dan Arista langsung menghamburkan pelukannya kepadaku. Erat. Sangat erat. Sampai-sampai aku berkata, "Ri, gue enggak bisa napas."

"Oh, iya. Maaf." Arista melonggarkan pelukannya dan menatapku. "Maaf kalau gue udah narik-narik tangan lo tadi, Bri. Gue enggak tahu kalau lo lebih menderita dari gue."

"Eh, apaan, sih? Enggak usah kayak gitu kali ke gue. Gue udah biasa kok kayak gini."

"Enggak, Bri. Lo harusnya enggak pernah nerima perlakuan kayak gini. Lo orang baik, Bri. Lo enggak pantes kayak gini."

Senyumku terulas. "Thanks, Ri. Tapi jangan pernah temenan sama gue karena rasa kasihan lo sama gue, ya. Gue enggak mau dikasihanin." []

♡♡♡

Halo...

Gimana part 13-nya? Sudah jelas kan Arista kenapa enggak suka banget ke Mikha? 😆

See you next week, Guys!

Me love you 😘

Aya

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now