DUA (b)

1.2K 217 96
                                    

Mia terlihat sibuk dengan ponselnya. Mama pun sama. Tak henti-hentinya memandangi ponsel di genggamannya. Sedangkan Ayah, sepertinya pikirannya sedang tidak berada di sini.

"Ayah, Bri turun di halte depan aja, ya," kataku memecah keheningan yang menyelubungi kami selama perjalanan.

Ayah langsung melihatku melalui spion yang berada di atas dashboard. "Ada apa, Bri?"

"Bri mau ke toko buku dulu. Ada yang mau kubeli buat besok, Yah."

Maaf, aku harus berbohong. Sebenarnya aku ingin menyendiri untuk sesaat. Aku ingin membenahi diri. Siapa tahu ada kesalahan kecil yang kulupa kepada Mama.

"Bisa pulang sendiri? Atau entar Ayah jemput, ya!"

"Enggak usah lah, Yah. Biarin Sabrina pulang sendiri. Kita mau ada tamu di rumah." Celetukkan Mama membuatku meringis.

"I-iya, Yah." Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. "Aku bisa pulang sendiri."

Ayah menatapku dalam diamnya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa berbohong kepadanya. Maka, kuulas senyum tipis yang mungkin bisa mewakili kata 'aku baik-baik saja'.

Ayah menepikan mobil tepat di depan halte, lalu aku berpamitan lagi dengan ketiga orang di mobil ini.

"Kamu jangan buat dia manja!" kata Mama.

Aku langsung membuka pintu, berusaha untuk mengabaikan perkataan Mama. Kulangkahkan kaki keluar.

"Kamu lupa kalau dia bu—"

Pintu mobil segera kututup. Aku tidak mau lagi mendengar kelanjutannya. Aku tak mau membuat hatiku semakin sakit. Aku sudah terlalu lelah hari ini.

Drrrttt, drrrttt, drrrttt...

Ponsel di saku celanaku bergetar ketika aku berjalan ke arah toko buku. Bagus! Ini akan mengalihkanku untuk sementara. Aku tidak lagi melihat ke arah mobil walau kutahu Ayah masih menatapku.

SADAM: Bri, lo di mana? Bisa tolongin gue enggak?

Aku berdecak. Harusnya aku yang diberi pertolongan. Bukan dia.

Sesaat kulihat sedan hitam milik Ayah meluncur berbaur dengan kendaraan lain sembari menikmati hiruk pikuk macetnya ibu kota di sore hari.

SABRINA: Gue di halte.

Aku menenekan tombol send dan... dia menelepon?

"Halo, Bri. Lo di mana?"

"Di halte."

Suara bising klakson bus dan deru motor yang melesat dengan kecepatan tinggi menjadi latar suaraku. Kuurungkan niat untuk melanjutkan langkah ke toko buku. Aku kembali ke halte dan bersandar di tiang.

"Udah jam empat dan lo masih di halte? Ngapain? Lo kan bareng bokap lo tadi, Bri."

Tubuhku merosot. Selanjutnya aku menangis. Air mataku tak bisa kutahan lagi.

"Eh, lo nangis, Bri?" Sadam berdecak. "Lo di halte mana? Biar gue jemput."

Isakanku semakin menjadi. "Sadam, tolong gue...."

Selanjutnya, Sadam langsung mematikan sambungan teleponnya.

Aku menunduk dan terus menangis. Aku pun jadi sorotan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar halte.

"Kak, beli permennya, Kak."

Suara lembut menyapaku selang beberapa menit. Kuangkat wajah yang sudah tak beraturan ini.

Gadis mungil berpipi tembam tengah berdiri di hadapanku. Dia menjulurkan permen berbentuk gajah tepat di depan wajahku. Mau tak mau aku mengambil permen tersebut. Kuusap air mata yang menghalangi pandanganku.

"Terima kasih, Sayang." Kuelus pipi kanannya. Dia begitu lucu dan cantik. "Namamu siapa?"

"Angel."

"Nama yang indah seperti yang punya." Hatiku menghangat melihatnya. "Oh, ya. Berapa harganya?"

Angel menoleh ke sisi kiri. Kuikuti arah pandangannya.

"Ini buat Kakak aja deh." Usai berkata itu dia malah berlari.

Aku berdiri dan mengejarnya. "Angel, tunggu!"

Dia berbelok ke arah toko buku dan... Sadam?

Kulihat Angel mengumpat di balik punggung Sadam yang bersandar dengan cool-nya di jok motor. Keningku mengernyit.

"Udah nangisnya?" kata Sadam. Dia menggendong Angel dan menciumnya. "Makasih ya, Angel, udah mau nolongin Kakak." Dia mengelus kepala Angel, lalu menurunkannya.

Aku hanya dapat mengerjap menyaksikan itu semua. Jadi Sadam melakukan ini semua untukku?

Ah, tak bisa kupercaya.

"Hei, Bri!" Sadam menyadarkanku dengan jentikan jarinya.

"Y-ya?"

"Ngelamun mulu. Ayo gue anter pulang." Sadam bangkit dari motornya dan menyalakan starter.

"Angel?"

"Oh, dia?" Sadam menunjuk ke arah angkutan umum.

Mataku menyipit ketika menyadari keberadaan Angel. Dia mengamen? Hatiku mencelus. Anak sekecil itu mengamen. Ya Tuhan....

"Entar gue ceritain, Bri. Sekarang gue harus nganter lo pulang." Sadam memakai helm. "Bokap lo tadi WA gue habis gue nelpon lo."

"Ayah?"

"Iya. Om nyuruh gue jemput lo di toko buku."

"Tapi gue enggak mau pulang, Dam." Air mataku menetes lagi. "Kepala gue panas ini. Kalau gue pulang sekarang, bisa-bisa meledak tahu!"

Sadam terdiam. Dia seperti berusaha membaca pikiranku. "Emang kepala lo balon yang bisa meledak?" Dia terkekeh.

Aku memukul lengannya berkali-kali, kesal. "Sadam... gue lagi sedih tahu!"

"Iya, gue tahu. Ayo, naik! Kita ke kafe Ice Cream. Dan lo bisa ceritain semuanya."

Aku menghela napas, pasrah. Aku segera menaiki motor memegang ujung jaket hitam Sadam.

"Pegangan yang bener! Gue mau ngebut, nih!" Dia menarik kedua tanganku hingga memeluknya.

Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiranku. "Tunggu! Emangnya kaki lo udah sembuh?"

Bukannya jawaban yang dia berikan, malah tawanya yang meledak. Dasar! []

♡♡♡

Ini part yang kujanjikan.

Sebisa mungkin aku bakal up yaa. Soalnya weekend ini aku di luar kota. Ehee~

Yang mau tahu keseruanku or tentang novel apa aja yang pernah kutulis, kamu bisa follow IG-ku: fatayaazzahra.

MAHKOTA KERTAS bakal up tentunya dengan cerita yang lebih bikin kamu baper dan pengin nimpuk Sadam pakai cinta *eh XD

OK. See you... xx

Love,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Love,

Aya

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang