SEMBILAN

684 120 56
                                    

"Lo tunggu di sini!" kata Sadam usai kami berbelanja makanan kecil untuk Angel. "Jangan ke mana-mana! Gue ke toilet dulu!"

Aku mengangguk begitu saja tanpa mendengar perintahnya dengan jelas. Selama dia berbicara tadi, yang terdengar suara dengung yang sangat panjang sampai-sampai aku terhuyung ke belakang. Untung saja Sadam segera menangkapku. Direbutnya plastik putih dari genggamanku.

"Eh, lo kenapa?" Raut khawatir terlukis jelas di wajahnya. "Lo denger apa yang gue bilang, kan?"

"Iya, iya gue denger." Satu tanganku memegang bagian kepalaku yang sakit, sedangkan tangan yang lain memegang lengan Sadam. "Migrain gue kambuh."

Sadam berdecak. "Makanya jangan kebanyakan mikir. Nyantai aja." Dia mengelus lembut kepalaku. Dia mengambil susu cokelat kemasan kotak dari plastik dan memberikannya kepadaku. "Nih, minum dulu. Bentar, gue cari kursi."

"Eh, enggak usah." Tapi terlambat. Sadam menaruh kantung plastik di dekat kakiku dan segera menghampiri tukang bakso tak jauh dari mini market.

Sadam datang dengan kursi plastik warna merah. "Lo duduk sini dulu." Dia mendudukkanku layaknya anak kecil. "Gue ke toilet dulu." Dia mengusap pipiku dan pergi.

Aku melihat-lihat ke arah jalan raya sambil menyesap susu kotak. Siapa tahu ada Angel yang sedang mengamen.

"Kamu itu ya udah nyuri, enggak mau ngaku lagi!"

Teriakan itu membuat aku mencari sumber suara. Suara itu tak asing bagiku.

"Tapi Angel enggak nyuri, Bu." Lalu, terdengar suara tangisan dan disusul dengan sebuah pukulan.

Aku merasa kesal sendiri karena tidak menemukan Angel atau siapa pun yang bernama Angel itu. Aku menyeruput susu cepat-cepat agar segera habis.

Aku beranjak dari kursi dan melempar kotak susu ke tempat sampah. Aku menenteng plastik, lalu melangkah ke sumber suara tangisan. Kulihat beberapa orang berkumpul mengerubungi sumber suara seperti puluhan semut yang sedang bermusyawarah.

"Enggak usah pake nangis! Itu udah pelajaran buat kamu!"

Tangisannya Angel semakin keras.

"Diam!"

Aku tak tinggal diam ketika melihat seorang cewek remaja memakai jaket merah. Kepalanya tertutupi dengan tudung jaket. Poni panjangnya menutupi setengah wajahnya. Aku tidak peduli dengan wajahnya. Yang kupedulikan kini adalah gadis mungil yang menangis. Cewek berjaket merah itu tengah mengangkat tangannya hendak memukul Angel. Itu benar-benar Angel yang kutemui kemarin.

Aku segera menarik Angel ke dalam pelukanku. Aku berlutut dan membenamkannya ke bahuku. "Sayang, kamu enggak apa-apa? Kakak nyariin Angel dari tadi."

"Tunggu! Oh, jadi ini adiknya Sabrina!"

Aku mendongak ketika namaku disebut. Aku menajamkan mataku yang sayangnya kini tidak mau diajak bekerja sama. Mataku buram. Damn!

Kuperjelas penglihatanku. Dan dengung itu datang lagi. Fokus, Bri! Fokus!

"Kenapa? Lo enggak ngenalin gue?" Cewek itu membuka tudung kepalanya dan merapikan rambutnya. Maka terlihat jelas wajah Mikha. Sepertinya dia mulai menjadi mata-mata.

"Kalian berdua cocok deh." Mikha tersenyum licik. "Yang satu Upik Abu, yang satu lagi pencuri."

Angel melepaskan diri dari pelukanku. Dia menghadap Mikha. "Angel bukan pencuri!"

"Eh, anak kecil diem aja!"

Aku berdiri dan mendekati Mikha. Jangan ditanya bagaimana suasana di sekitar kami. Ramai sekali. Tapi tak ada yang berani melerai kami. Satpam? Entah. Aku sedari tadi tak melihat satpam.

"Jaga omongan lo ya, Mik! Gue akan laporin lo ke polisi atas penuduhan dan pencemaran nama baik."

"Oh, lo punya nama baik? SA-BRI-NA?!" Mikha menyebut namaku tepat di depan wajahku.

"Mbak, hapenya jatuh, nih! Tadi saya temuin deket mobil merah itu." Seorang cowok jangkung menyodorkan ponsel Mikha yang terus berbunyi.

Mudah saja menemukan pemiliknya. Selain suara Mikha yang nyaring sehingga semua orang melihat ke arahnya, dia juga menggunakan wallpaper wajahnya di ponselnya.

Mikha hanya terdiam dan menerima ponselnya. Mukanya merah padam. Dan kali ini aku bisa tersenyum licik kepadanya.

"Angel, ayo kita pergi!" Kuraih tangan Angel dan menjauh dari hadapan Mikha, berbaur dengan orang-orang yang juga menjauhi Mikha.

"Dasar lo, An—"

"Angel, lari...." Kami pun berlari sejauh mungkin meninggalkan mini market. Mungkin sekarang Mikha sudah mengucapkan kata-kata kasar dan mengabsen nama hewan. Membayangkannya saja sudah membuatku tersenyum puas.

"Kak, Angel capek. Kakak larinya cepet banget."

Aku berhenti dan berbalik badan. Kulihat Angel sudah terduduk di trotoar sambil terengah. "Oh. Maaf. Kita duduk di sana, yuk!" Kutunjuk bawah pohon rindang tak jauh dari posisi Angel.

Setelah kami menenangkan diri masing-masing, kuambil susu kotak stroberi dan sebungkus roti, lalu memberikannya Angel. "Angel minum ini dulu, ya! Terus makan rotinya. Biar Angel kuat larinya."

Hatiku menghangat melihat Angel mengunyah dengan lahap rotinya. Ada rasa bahagia tersendiri yang tak bisa kujelaskan. Lalu, kukeluarkan tisu basah dari tas dan kuelus wajah Angel yang penuh debu dan kotoran.

"Kakak mau susu stroberinya?" Angel menyodorkan susu kotaknya ke arahku. Mata bulatnya terlihat berbinar indah.

"Enggak usah. Susunya buat Angel aja. Angel pasti laper, kan?"

Dia mengangguk antusias. "Angel laper. Angel belum dapet makan tadi pagi."

Oh, God....

"Kakak bawain makanan buat Angel." Kuusap air mataku yang menetes. "Angel mau ajak Kakak ke tempat Angel enggak? Kakak mau kenalan teman-teman Angel."

"Kakak beneran mau ke tempat Angel? Tempatnya bau, Kak. Jorok. Kotor. Kakak cantik jangan ke sana."

"Kenapa?"

"Hmm," dia tampak berpikir, "tapi sekarang ada sekolah di sana. Kakak mau ke sana? Ajarin Angel baca, Kak. Angel pengin banget bisa baca. Angel juga mau bisa nulis. Angel mau nulis surat buat Ibu dan Ayah."

Napasku sesak. Mendengar keinginannya seperti aku mendengar keinginanku dulu. Dulu, aku ingin sekali menulis surat untuk Mama. Setiap tahunnya, sejak aku bisa menulis, aku menulis surat untuk Mama di hari ulang tahunnya. Tapi entah kenapa surat itu selalu berakhir di tempat sampah.

Sekarang surat-surat itu tak kunjung kusampaikan kepada Mama. Surat itupun masih kusimpan rapi di kotak rahasia yang kutaruh di kolong tempat tidur.

"Ayo, kita berangkat!" []

♡♡♡

Holaaa ma halooo 💃

Gimana ceritanya? 🤔
Mikha emang gitu orangnya. Jadi, dia harus dikasih pelajaran sekali-kali.

Kurang puas? Hohoo tenang aja. Bikin Mikha kapok tetep berlanjut 😂

Angel? Malaikat kecil itu akan selalu melekat di hati Bri.

Okay. Semoga kamu suka, ya!

Sampai bertemu lusa... 😚

Happy reading...

Salam Sayang,
Aya

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now