DUA PULUH DUA

286 84 22
                                    

Suara ketukan pintu kamar menyadarkanku dari lamunan panjang tentang kejadian kemarin. Bibi membuka pintu dan menyembulkan kepalanya. "Non, ada temennya dateng."

"Siapa, Bi?"

"Den Sadam sama perempuan yang rambutnya merah. Bibi ndak tahu namanya."

Aku terkejut sekaligus senang mendengar bahwa Arista datang. Apakah cewek itu benar-benar menangis karena enggak ada aku di sekolah hari ini?

"Iya, Bi. Suruh mereka masuk aja."

Jam dinding yang terletak di atas meja belajar menunjukkan pukul empat sore. Seharian ini aku bedrest total. Bangun pun hanya waktu mandi, salat, makan, dan ke kamar mandi. Selebihnya aku berada di kamar.

Enggak ada yang mengusikku sama sekali. Hanya saja sesekali Ayah datang dengan kursi rodanya untuk menjengukku. Mama hanya terlihat kemarin sewaktu aku diantar pulang oleh Adera dan Sadam. Tentunya Sadam yang memapahku ke kamar. Adera hanya membukakan pintu dan selanjutnya dia menyapa Ayah dan Mama.

Pertanyaan yang kutangkap dari Ayah adalah, "Ada apa dengan Sabrina?". Wajah beliau terlihat sangat cemas. Sedangkan aku enggak bisa berkata apa-apa. Aku terlalu lemah untuk berbicara. Bayangkan saja, akhirnya aku dapat membuka mata setelah Sadam memompa jantungku dengan cara menekan-nekan dadaku berkali-kali disertai napas buatan. Rasanya itu... ya Tuhan, terima kasih banyak telah memberiku kesempatan lagi untuk bernapas.

Kulihat wajah Sadam saat pertama kali membuka mata. Dia menangis.

"Sadam," kataku kemarin. Dia langsung memelukku dan melanjutkan tangisnya. "Ih, cowok kok cengeng, sih? Malu tuh dilihat banyak orang."

Ya, kami masih berada di area resto. Bahkan jadi tontonan gratis para pengunjung. Sampai-sampai ada yang bilang, "Cowok Mbak panik banget tadi sampe neriakin nama Mbak, nyuruh Mbak bangun."

Aku hanya terdiam dalam pelukan Sadam sampai akhirnya para pengunjung pergi untuk melanjutkan makannya.

"Sabrina, aku minta maaf," kata Adera. Dia berdiri di belakang Sadam. "Aku enggak tahu kalau kamu alergi stroberi."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sadam mengelus wajahku dan mencium keningku. Lalu, dia membantuku duduk dan dia pun duduk di sampingku sambil memijat-mijat jemariku yang dingin. Sepertinya dia sudah sudah enggak menghiraukan keberadaan Adera. Atau dia marah ketika tahu Adera yang memberiku es krim stroberi?

"Kita ke rumah sakit, ya!" kata Adera.

"Enggak usah, Kak. Kita langsung pulang aja, ya. Kasihan Ayah, enggak ada yang jagain."

Adera pun menjawab pertanyaan Ayah dengan jujur. "Om, saya minta maaf karena saya yang udah ngajak Sabrina jalan dan makan es krim stroberi."

Aku enggak melihat lagi bagaimana wajah Ayah saat itu karena aku sudah masuk kamar. Aku seperti mayat hidup. Aku enggak bisa berkata apa pun lagi. Sepatu dan tasku saja Sadam yang melepaskan. Dia memperlakukan aku seperti waktu itu, waktu di mana aku mendengar pernyataan kalau aku bukan anak kandung Mama.

"Rin," suara Arista membuat bayanganku buyar. Aku menoleh ke arah pintu. Dan menyadari kalau nama panggilanku diubah lagi olehnya, kali ini hanya bisa mendesah. "Kami masuk, ya."

"Silakan." Aku hendak beranjak dari posisi tidurku, tapi Arista langsung mencegahku untuk bangun. Cewek yang duduk di dekatku ini tampak murung. "Kenapa, Ri? Mukanya kusut amat."

"Ah, lo jahat banget, Rin."

"Bri," ralatku.

"Iya dah, Bri. Lo jahat banget sama gue." Dia menepuk pelan lenganku. "Gue kira lo beneran bunuh diri gara-gara gue. Eh, enggak tahunya alergi stroberi. Resek banget lo, ya!"

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now