DUA PULUH

719 100 10
                                    

"Dua minggu lagi O2SN akan segera dimulai. Maka, saya minta kepada kalian untuk berlatih sungguh-sungguh. Tapi ingat yang saya katakan, jangan jadikan ini beban yang memberatkan kalian. Tapi jadikan ini sesuatu yang harus kalian pertanggungjawabkan demi kepuasan kalian sendiri."

"Iya, Pak...," jawab kami serempak saat Pak Doni memberikan sedikit wejangan sebelum latihan.

Aku melirik Arista yang terlihat asyik mengikir kukunya. "Ri, entar gue mau curhat sekaligus pengakuan," kataku pelan. Entah dia mendengarnya atau tidak karena keadaan sekolah belum berangsur sepi. Masih terlihat anak-anak OSIS dan beberapa siswa yang masih berlalu-lalang di sekolah.

"Curhat apaan?"

"Tentang status gue sama Sadam."

"Kepada tim bulu tangkis dan taekwondo, Bapak percaya sama kalian kalau kalian bisa. Saya mendapat info dari pembimbing kalian kalau perkembangan latihan kalian sangat bagus. Tolong pertahankan itu," kata Pak Doni kepada tiga anak di sebelah Arista.

"Baik, Pak...."

"Nah, untuk Sabrina," Pak Doni menatapku, "kamu sudah makan kan hari ini?"

"Udah, Pak." Cengiranku mengembang.

"Bagus! Pokoknya saya tidak mau ada yang sampai sakit gara-gara nutrisi yang kalian butuhkan lebih sedikit daripada tenaga yang kalian keluarkan."

"Baik, Pak...," jawab kami lagi.

"Oke, Anak-anak. Latihan kita mulai hari ini. Jangan lupa untuk melakukan pemanasan agar tubuh kalian tidak sakit," Pak Doni mengakhiri pembicaraannya.

Setelah bersalaman dengan beliau, kami menyebar ke masing-masing tempat yang disediakan. Tim bulu tangkis dan taekwondo langsung ke ruang indoor, sedangkan aku dan Arista berjalan agak menjauh dari jangkauan Pak Doni agar lebih leluasa untuk berbicara. Aku sempat melihat Sadam dan anak-anak OSIS lainnya duduk melingkar di koridor di depan ruang OSIS. Tapi sepertinya Sadam sengaja duduk menghadap langsung ke arah lapangan untuk melihatku.

"Jadi mau cerita apa tentang Sadam?" tanya Arista ketika kami berada di bawah pohon di tepi lapangan.

Aku mengikat rambut tinggi-tinggi agar tidak mengganggu saat berlari nanti. Untung saja kepalaku sudah tidak merasa sakit lagi. Rupanya bekal dari Tante Gina itu bekerja juga. Tapi jujur, setelah kejadian tadi pagi, aku ingin sekali menangis. Mia benar-benar memperankan seorang kakak tiri yang jahat.

Aku menghela napas. "Sebelum itu, gue mau nanya. Rasanya orang jatuh cinta itu gimana, sih?"

"Lho, lo bukannya lagi ngalamin hal itu ke Sadam?"

Aku mengangkat kedua tangan, memulai pergerakan pemanasan. "Gue enggak ada apa-apa sama Sadam, Ri."

"Maksud lo?"

Aku menggeleng kecil. "Gue cuma jadiin Sadam jadi pacar boongan doang, Ri."

"What? Kok bisa? Wah, parah lo. Kasihan tahu anak orang. Gimana kalau dia beneran suka sama lo?"

Aku berlari kecil di tempat untuk menyamarkan obrolan kami. Begitupun Arista. Karena dari kejauhan kulihat Pak Doni tengah memantau kami dari tangga yang berada tepat di seberangku.

"Nah, itu dia, Ri, masalahnya. Entah sadar atau enggak sih tadi pagi pas dia ngaku. Dia bilang dia udah suka gue sejak pertama kali kami ketemu waktu di perpus SMP."

"Really?!"

Aku mengangguk.

"Terus perasaan lo gimana?"

Tiba-tiba, terdengar suara pluit yang panjang. Itu tandanya kami harus segera berlari mengelilingi lapangan.

"Yahh, Pak. Lagi penasaran juga," gerutu Arista.

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now