DELAPAN

801 127 79
                                    

"Bri, nomer 3, 2,1 dong apaan jawabannya?"

"Ih, lo malak, Dam? Gue kan udah pusing mikirin jawaban ampe jungkir balik semalam. Enggak! Gue enggak mau!" Kutarik buku tulis Matematika milikku dari hadapan Sadam. Maka terlihatlah wajah sedih ala Sadam.

Entah apa hanya aku yang merasa kalau dia kali ini sangat berbeda dengan tadi malam. Tingkat ketampannya naik satu level. Tapi tetap saja dia adalah satu-satunya orang yang paling ngeselin bin nyebelin yang pernah ada.

Aku pun tidak tahu kenapa dia yang harus menjadi sahabatku. Malaikat dari-Nya? Mungkin. Tapi aku tak bisa menyebutnya dengan itu. Dia hanyalah cowok biasa yang hadir tiba-tiba dari perpustakaan SMP ke dalam kehidupanku.

Tadi malam setelah menyuapiku makan, Sadam tidak langsung pulang begitu saja. Dia mengajak mengobrol sampai aku benar-benar tidur di bahunya.

"Lo kerjain dong, Dam! Salah sendiri lo malah ke rumah gue."

Sadam menatapku lekat. "Yang penting lo aman aja itu udah bikin gue tenang, Bri."

"Maksud lo, lo enggak tenang gitu pas ada Mikha di deket gue?" Aku mengacak-acak rambutnya. "Tenang, Dam. Gue bisa jaga diri, kok." Aku beranjak dari kursi dan meletakkan buku tulis Matematika-ku di meja Sadam.

Sadam menatapku seakan dia tidak percaya kalau aku telah mengikhlaskan jawaban tugasku kepadanya.

"Yang namanya Sabrina, dipanggil ke ruang guru."

Aku menoleh ke arah pintu kelas. Seorang siswi dengan rambut panjang kemerahan tengah berdiri dengan anggunnya. Matanya bertemu denganku.

"Lo ya yang namanya Sabrina?"

Aku mengangguk.

"Ikut gue, yuk! Ditunggu sama Pak Doni." Lalu, siswi itu pergi begitu saja.

"Inget, Bri, yang gue omongin semalam."

Aku mengangguk ke arah Sadam dan pergi.

***

"Bagaimana Sabrina dengan tawaran Bapak kemarin?"

Kini aku sudah berdiri di hadapan Pak Doni. Jemariku saling bertautan. Entah mengapa kali ini merasa gugup.

"Kamu mau kan menerimanya?"

Aku masih enggan menjawabnya. Bukannya apa. Hanya saja waktuku akan berkurang untuk di rumah. Dan pastinya nanti akan dicurigai Mama karena pulang lewat dari waktu yang telah ditentukan. Asal tahu saja, Mama hafal dengan jadwal kegiatanku.

Tanda peduli? Salah. Mama sama sekali tidak peduli denganku.

"Sabrina mau, Pak!"

Aku menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang beberapa saat lalu kutinggalkan. Benar saja dia dengan wajah tengilnya menghampiri kami, lalu merangkulku seperti yang sudah-sudah. Dia tidak tahu apa kalau pipiku saat ini memanas karenanya, ha?

"Iya kan, Bri?"

Aku menatap matanya dengan tajam, menggambarkan kalau aku sedang marah.

"Nah, kalau diemnya cewek itu berarti 'iya', Pak."

"Eh, bu-bukan, Pak!" Aku berusaha mengelak. "Saya cuma—"

"Kalau masalah perizinan, saya sudah menghubungi ayahmu tadi dan beliau setuju."

Aku menghela napas panjang seolah aku baru saja masuk ke dalam perangkap Sadam dan pasrah.

"Lusa kita mulai latihan untuk masuk seleksi ya, Sabrina."

Mataku membeliak. "Ha? Secepat itu, Pak?"

Pak Doni tersenyum. "Iya, Sabrina. Pekan Olahraga Nasional akan diselenggarakan tiga bulan lagi dan tidak bisa menunggu."

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now