DUA PULUH TIGA

266 82 6
                                    

Aku tengah mengantar minuman untuk para tamu yang datang malam ini. Semua terlihat gemerlap. Gaun yang kugunakan tentunya sangat jauh di bawah mereka yang gaun pestanya lebih mewah. Kulihat mereka juga cantik dengan dandanan yang menghiasi wajah mereka. Rambutnya, kukunya, parfumnya, high heels-nya... pasti mereka menghabiskan banyak uang hanya untuk datang ke acara malam ini?

Aku? Jangan ditanya. Aku hanya menggunakan gaun pemberian Adera dan berdandan sekenanya saja; bedak bayi dan lipgloss. Rambut panjangku kugerai begitu saja. Sebagai hiasannya aku hanya memakai bando dengan renda cokelat di atasnya. Kentara anak SMA sekali, kan?

"Eh, ada cewek gue!" Sadam muncul dari belakang, berdiri menghadapku. Lalu, dia berjalan mundur. "Jalan sama Abang yuk, Neng."

"Aduh, Dam. Lo masih aja ngebet pengen jalan sama gue? Entar aja deh." Aku bergeser ke kiri, tapi Sadam tetap menghalangiku. "Ya ampun, Dam. Jangan halangin jalan gue dong. Udah tahu gue pendek gini, lo masih aja isengin gue." Aku menghentikan langkah di dekat buffet di ruang tamu. Gelas-gelas berisi coke di nampan segera aku pindahkan. "Lagian ngapain juga sih lo ke sini? Gue kan enggak ngundang lo."

"Siapa bilang gue enggak diundang? Gue diundang, kok. Kak Dera ngundang gue." Tangan Sadam melambai ke arah sofa. Aku mengikuti arah pandangannya. Ada Adera rupanya di sana. "Lo jahat banget enggak ngundang gue, Bri."

"Ya maaf. Lagian juga mana boleh gue ngundang orang? Yang ada gue kena masalah. Eh, tunggu! Coba sini lihat cowok gue pake apaan?" Kutarik Sadam ke hadapanku, menutupi pandangan Adera yang masih menatapku.

"Gimana? Ganteng kan gue?"

Jujur setelah hari itu, aku enggak lagi berani berkomunikasi dengan Adera walaupun itu hanya sekadar menjawab WhatsApp darinya yang menanyakan kabarku. Aku ingin menjaga jarak dengannya. Jangan sampai semuanya hancur hanya karena perasaanku. Kuharap dia dapat mengerti.

Dan memang setelah pengakuan yang dilakukan Sadam kemarin, entah mengapa aku menjadi lega. Malah kurasa hatiku ini sudah milik Sadam sepenuhnya.

Aku mulai menilai Sadam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku tiba-tiba tertawa. Ada perasaan geli di hatiku ketika membayangkan kelak aku akan melihatnya seperti ini ketika dia melamarku.

"Lho, kok malah ketawa? Gue jelek, ya?" Sadam memeriksa setelan jas hitamnya.

"Lo mau ngelamar anak orang, Dam? Rapi amat."

"Iya, nih. Gue mau ngelamar anaknya Om Anugerah yang namanya Sabrina, tapi kayaknya belum dibolehin deh. Soalnya gue belum kerja."

"Kalau gitu selamat menunggu lima atau enam tahun lagi ya, Dam." Aku mengacak-acak rambutnya. "Semoga Sabrina-nya enggak kecantol sama yang lebih ganteng di kampusnya nanti, ya."

Sadam merapikan rambutnya lagi dengan wajah cemberutnya. "Yah... jangan dong. Gue bener-bener nangis nih entar."

Aku tersenyum. "Lihat nanti, ya!" Aku mengacak-acak rambutnya lagi. "Rambut lo jangan terlalu rapi, Dam. Enggak cocok sama gaya tengil lo soalnya."

Setelah itu, aku mengalihkan pandangan ke arah tangga. Ada Ayah tengah mengobrol dengan kerabatnya; Om Riko, di dekat tangga. Om Riko adalah salah satu kerabat Ayah yang paling kukenal dari keluarga besar Ayah. Seingatku dulu, Om Riko sering mengajakku berjalan-jalan untuk menemani putri tunggalnya yang selisih satu tahun di atasku. Namanya Cinta. Tapi, sekarang cewek bermata indah itu sepertinya enggak datang.

"Ayah butuh sesuatu? Biar Bri ambilin," kataku ketika di hadapan Ayah. Walau Ayah masih duduk di kursi roda, Ayah tetaplah pria tergagah malam ini. Beliau memakai setelan jas resminya berwarna cokelat gelap.

"Enggak, Bri. Makasih." Ayah menepuk lembut tanganku. "Kamu udah makan?"

"Belum, Yah. Bri mah gampang. Sadam katanya mau ngajak Bri makan sate. Iya kan, Dam?" Aku menyikut tangan Sadam dan aku melototinya.

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now