DUA BELAS

681 103 73
                                    

Rasanya aku ingin memiliki debu magic seperti yang ada di film Neverland (2011). Aku ingin terbang, melihat semuanya dari atas seperti Peter Pan yang dibintangi oleh Charlie Rowe itu.

Aku menengadahkan kepala, menatap langit pagi. Cerah. Tapi tak secerah hatiku. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, semuanya berubah. Meski Ayah tetap mengajakku untuk sarapan ataupun makan malam, tapi rasanya berbeda.

Ayah....

Setelah aku bangun keesokkan paginya, Ayah memeriksaku. Apakah aku benar bergelar baik-baik saja atau tidak. Ayah juga mengajakku untuk ke dokter, tapi aku menolaknya. Kubilang kepadanya kalau aku hanya perlu istirahat.

Untung saja hari itu adalah hari Sabtu, aku bisa beristirahat dengan tenang di kamar. Mama tidak menegurku sama sekali ketika aku keluar kamar sekadar untuk mengambil minum di lantai bawah. Tidak masalah bagiku karena aku sudah terbiasa dengan sikap Mama yang satu ini.

Yang berbeda adalah atmosfer di rumah ini. Kini aku tidak lain hanyalah seorang anak asing di sini.

Hari ini adalah hari kedua di mana aku memutuskan untuk tidak sarapan di rumah. Dengan berbekal makanan yang kubuat usai salat Subuh, aku langsung bersiap untuk berangkat ke sekolah. Lebih baik begini kan, berangkat pagi-pagi buta daripada membuat hatiku semakin terluka?

"Bri!!"

Suara Sadam memecah keheningan. Tak perlu berbalik badan lagi karena deru motornya semakin mendekat. Aku terus berjalan tanpa menunggunya hingga akhirnya kami bersisian.

"Apa? Mau ngeramal gue dengan bilang kita bakal ketemu di kantin?" tanyaku. Aku merapatkan jaket merah yang kupakai. Memar di lenganku belum hilang sampai sekarang. Bahkan aku benar-benar tidak bisa menulis saat di kelas.

Berkat Sadam-lah aku bisa lolos dari omelan guru killer se-SMA Arcapella. Dia mengerjakan semua tugasku. Itu hal gila yang pernah dilakukannya. Dia bahkan tidak mempedulikan nilainya sendiri saat dirinya juga harus mengumpulkan tugas.

Argh....

"Ngapain ngeramal? Kita kan sekelas, Bri. Satu meja pula."

"Oh, iya. Lupa."

Sadam berdecak. "Ya udah. Naik cepetan!"

Tanpa berpikir panjang, aku langsung duduk di belakang Sadam. "Jangan ngebut!"

"Hmm."

Sesuai perkataannya malam itu, aku harus menuruti semua peraturannya. Keberadaanku kini tak pernah lepas darinya. Mungkin yang hubungan kami, ini sudah melebihi dari arti kata sahabat.

Bukan apa-apa. Hanya saja aku memang membutuhkannya. Benar apa kata Sadam bahwa aku sudah 'sendiri'. Dengannya, aku tak merasa sendiri.

Rasanya aku tak lebih seperti Cinderella. Ah, iya. Harusnya dari dulu aku menyadari bahwa aku bukanlah bagian dari keluarga Anugerah.

Sikap Mia pun berubah. Sehari setelah kejadian itu, dia menatapku dingin; bagai melihat orang asing yang berada di rumahnya. Tidak diragukan lagi, dia pasti tahu hal ini dari Mama.

"Bri, inget entar jadwal latihan lari!" kata Sadam. Suaranya berbaur dengan suara mobil yang melesat.

"Iya." Aku memegang jaketnya kencang. Aku ingin mengatakan hal yang kutahan beberapa hari ini. Rasanya akan bertambah buruk kalau aku menjalankannya. "Tapi, Dam, kayaknya gue bakal mundur aja deh dari PON. Semuanya bakal sia-sia."

Tiba-tiba, Sadam mengerem mendadak. Aku hampir saja memeluk Sadam dari belakang.

"Sadaaam!" Kupukul punggung atasnya. "Lo kenapa, sih?"
Sadam memutar tubuhnya menghadapku. Sepertinya dia tidak setuju dengan pernyataanku tadi. Kugigit bibir bawah dan memilin ujung jaketku.

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang