LIMA BELAS

507 91 9
                                    

Dear, Mama.

Apa kabar, Ma? Doaku tak pernah putus untuk Mama. Semoga Mama selalu dilindungi oleh Allah SWT.

Ma, maafin aku ya. Aku tau ada banyak kesalahan yang aku perbuat ke Mama.

Aku tau aku bukan anak Mama. Aku tau enggak seharusnya aku di sini dan mengacaukan kehidupan kalian. Tapi aku mau ngucapin makasih banyak buat kehadiran Mama, Ayah, dan Kak Mia selama ini. Mama udah kuanggap orangtuaku sendiri. Jadi, apa pun yang Mama lakuin ke aku, aku anggap itu kasih sayang Mama ke aku.

Selamat ulang tahun, Mama. Semoga di hari yang bahagia ini, Mama panjang umur dan sehat selalu :)

Asal Mama tau. Bri sayang banget sama Mama. Maaf kalau Bri belum bisa bikin Mama bangga. Tapi, Bri akan berusaha buat ngewujudinnya, Ma.

Salam Sayang,

Sabrina

Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Air mataku menetes lagi setelah membaca ulang surat yang kutulis tadi malam. Tentunya aku tak berbohong dengan apa yang kutulis di secarik kertas ini. Mungkin ini akan menjadi surat terakhirku untuk Mama. Karena benar kata Ayah kemarin siang, kita tak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Mungkin saja setelah ini aku benar-benar tidak di rumah ini lagi.

Aku akan tetap memberikan surat ini kepada Mama. Entah dibaca atau akan berakhir di tempat sampah seperti yang sudah-sudah.

Kemarin, Ayah memperlihatkan foto Ibu kepadaku setelah tidak ada lagi bahan pembicaraan di antara kami. Aku merasakan perasaan canggung terhadap Ayah setelah beberapa saat Ayah mengatakan kalau ayah kandungku telah tiada.

Aneh rasanya ketika melihat Ayah yang selama bertahun-tahun adalah sosok yang kukenal dengan baik berubah menjadi orang asing dalam sekejap.

Bayangan akan masa lalu berkelebat beberapa saat. Bayangan yang membuat pikiranku berlarian sambil meneriakkan kenyataan bahwa selama ini aku bahagia karena orang lain, bukan dari bagian diriku sendiri. Masa lalu terus berjalan hingga akhirnya Ayah mengeluarkan selembar foto seorang wanita bernama Shania.

Dengan bantuan Sadam, aku membenarkan posisi duduk. Lalu, aku mengambil foto tersebut. Melihat foto itu seperti melihat cerminan dari diriku sendiri. Ayah tidak bohong. Wajahku benar-benar seperti Ibu.

Ponsel di atas nakas bergetar, tanda WhatsApp masuk. Aku segera melipat surat dan memasukkannya ke amplop merah muda. Lalu, kuraih benda pipih itu. WhatsApp dari Sadam dan... Adera?

SADAM: Jalan jam berapa? Jgn lupa sarapan.

SABRINA: 9 aja. Tapi entar pulangnya anterin gue dulu ke toko kue. Mama ultah.

SADAM: Ok ok :)

Selanjutnya kubuka WhatsApp dari Adera.

ADERA: Sabrina, nanti jgn lupa jam 10 ya :)

SABRINA: Baik, Kak. Aku harus bawa apa nih, Kak?

Semalam setelah pulang dari kafe, Sadam kembali menegaskan kalau dirinya harus ikut untuk hari ini. Dia tidak memperbolehkanku datang tanpa dirinya. Kalimat terakhir yang membuatku tak bisa lagi mengelak adalah, "Gue harus jagain lo, Bri. Itu pesen Om Anugerah tadi."

ADERA: Enggak usah bawa apa-apa, Bri.

SABRINA: Oh oke, Kak. Tapi ada Angel, kan? O ya, temenku mau ikut. Gpp, kan?

ADERA: Angel ada, kok. Seneng bgt dia pas tau kamu dateng. Boleh ngajak temen, kok :)

Senyumku terulas begitu saja ketika mengetahui Angel merasa senang. Aku jadi berpikir untuk membelikannya sesuatu. Tentang Sadam berarti aman jika aku mengajaknya. Setidaknya Adera tahu.

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now