DUA PULUH EMPAT

272 77 11
                                    

"Lo tahu Vira kan, Bri?"

Mataku mengerjap, sedangkan mulutku berusaha mengunyah suapan dari Sadam. Rasanya masih enggak percaya dengan kejadian semalam. Tapi ya sudahlah. Dengan begitu, aku bebas, kan?

"Vira anak OSIS tahu, kan?"

"Iya, iya, gue tahu," jawabku setelah susah payah menelan makanan. "Kenapa?"

Sadam hendak menyuapiku lagi, tapi kutepis pelan. "Lo harus makan, Bri. Minggu depan udah hari H. Gue enggak mau lo gagal gara-gara lo sakit. Dan kalau lo gagal, itu berarti lo gagal juga buat ngubuktiin ke nyokap lo kalau lo bisa."

Aku tersenyum kecut. Sambil memilin ujung selimut, aku berkata, "Sia-sia, Dam. Semua yang jadi tujuan gue itu sekarang udah enggak ada."

"Enggak ada yang sia-sia, Bri. Semua masalah pasti ada jalannya. Dan gue minta untuk terakhir kalinya buat lo jalanin pertandingan ini."

Dengan rasa malas, aku menunduk dan berkata, "Iya deh, gue nurut sama lo." Aku menatapnya kembali. "Tapi kalau gagal, jangan salahin gue, ya?"

Sadam mengacak-acak rambutku. "Yang penting lo udah usaha."

"Iya...." Aku menyandarkan punggungku ke bantal.

Omong-omong, saat ini aku berada di kamar tamu di rumah Sadam. Ya... mau enggak mau aku harus menerimanya. Anggap saja ini sebagai semua yang terjadi ini merupakan tantangan. Lagi pula, kalau aku enggak ikut, SMA Arcapella akan menjadi buah bibir sekolah lain gara-gara satu anggotanya mengundurkan diri. Rasa bersalahku akan lebih terasa saat aku bertemu dengan Pak Doni nanti. Dia yang sudah merekrut dan meyakinkanku dari awal, masa di hari H aku enggak ikut?

"Bri," Sadam mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. "Kok malah bengong?"

Aku segera menggeleng. "Enggak, kok. Biasa aja."

Sadam menyendokkan lagi nasi goreng kepadaku, tapi aku menolaknya. "Ini yang terakhir, Bri."

Aku mendesah dan melihat malas ke arahnya. Dia mengambil banyak nasi hingga menumpuk di sendok, lalu menyuapkan sendok tersebut ke mulutku bulat-bulat. Dan yang terjadi adalah aku tersedak gumpalan cabai yang tersembunyi di balik tumpukan nasi.

"Anak pintar!" Sadam beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar.

Aku ditinggal dalam keadaan tersedak seperti ini? Tega sekali dirimu, Dam! Lihat saja nanti pembalasanku.

Sadam kembali masuk kamar dengan segelas air putih di tangan kanannya. "Udah... enggak usah natap gue kayak gitu." Dia duduk di hadapanku. "Gue tahu kalau gue itu ganteng."

Aku segera mengalihkan wajah ke jendela di sisi kananku. "Dih, pe-de banget sih lo!"

"Tapi sayang, kan?"

Tanpa mengindahkan perkataan sadam, aku mendesah. Kutatap lagi kedua mata Sadam. "Gue harus gimana, ya? Gue harus lanjutin sekolah atau gimana? Sementara gue udah diusir dari rumah. Barang yang gue bawa cuma hape sama gaun yang nempel di badan gue."

Tadi malam ketika kami sampai rumah Sadam, Tante Gina menyambutku dengan tangan terbuka. Beliau memelukku dan memberikan aku kecupan lembut di kening. Seakan semua yang terjadi padaku sudah diketahuinya, maka enggak ada pertanyaan sedikitpun darinya untukku. Tante Gina hanya mempersilakanku untuk beristirahat di kamar tamu, tepat di sebelah kamar Sadam. Dia juga meminjamkan aku baju tidur berwarna ungu dengan bergambar bintang.

Sadam tampak berpikir keras hingga muncul kerutan halus di keningnya. Melihatnya seperti itu, membuatku tertawa. Dia sangat lucu. "Udah lupain aja kata-kata gue barusan. Paling gue nanti cari kerja part time."

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now