EMPAT

1K 186 128
                                    

Akhirnya kami sampai tepat depan rumahku, sebuah rumah bertingkat dua dengan gaya desain mediterania di kompleks daerah Jakarta Selatan. Kami sampai beberapa menit setelah adzan Maghrib berkumandang. Tentunya tadi Sadam membawa motornya dengan kecepatan normal.

Tadi setelah aku mengatakan itu, Sadam hanya tersenyum. Senyum yang menyebalkan tentunya. Tapi karena aku memasang wajah datar, akhirnya dia berkata, "Iya, gue enggak bakal ngilang."

Kulihat pintu rumah terbuka lebar. Terlihat lampu terang benderang dari dalam. Menyala semua, kecuali kamarku. Tidak ada yang pernah masuk ke kamarku selain aku dan Ayah.

Kalau lampu rumah menyala semua, menandakan ada tamu yang sedang berkunjung. Seperti kata Mama tadi saat di restoran. 

"Langsung istirahat ya, Bri," kata Sadam ketika kuinjakkan kaki ke tanah.

Aku tak bisa berjanji apa-apa kepadanya. Aku tak akan bisa istirahat sampai para tamu itu pulang. Bukan apa-apa. Mama melarangku untuk istirahat kalau ada tamu. Itu peraturannya dan aku harus mematuhinya.

Mia? Jangan ditanya. Peraturan ini hanya berlaku untukku. Dari dulu.

Ayah? Beliau tidak tahu menahu soal ini.

Biar saja ini menjadi tanggung jawabku. Aku ikhlas. Aku akan menyerahkan apa pun yang kumiliki demi kebahagiaan orangtuaku. Hitung-hitung ini adalah balas jasa dariku untuk mereka. Daripada aku dipecat jadi anak kan, urusannya jadi panjang.

"Tunggu!" Sadam menahanku berbalik badan. "Coba dengerin deh!"

Kutatap mata elang itu. Rahangnya mengeras saat alis tebalnya bertaut. Dia melihat ke arah pintu rumah.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kayaknya gue ngenalin suara itu deh." Tatapan penuh selidiknya berpindah ke arahku. "Mikha ada di rumah lo?"

"Ah, enggak mungkin, Dam." Aku tersenyum remeh. "Mana mau dia ke rumah gue. Dia kan levelnya beda banget. Brahmana nyampur sama Sudra? Yang ada juga ancur duluan."

"Pokoknya lo hati-hati, ya! Kalau ada apa-apa langsung hubungin gue." Sadam berdecak. "Kok gue jadi enggak tega ninggalin lo, sih?"

"Ih, apaan, sih?" Aku memukul bahunya main-main. "Udah. Pulang sana. Kasihan nyokap lo sendirian."

Seperti yang kubilang tadi. Setelah kepergian Om Baruna, kini mereka hanya tinggal berdua. Sesekali aku main ke rumahnya untuk belajar bersama dengan Sadam (walau pada kenyataannya aku yang belajar, sedangkan Sadam tertidur) atau sekadar menemani Tante Gina memasak.

"Beneran enggak apa-apa?"

"Iya. Enggak apa-apa. Janji." Dua jari tangan kananku terangkat dan aku menyengir. "Makasih ya, Sadam." Aku mengacak-acak rambutnya. "Lo sahabat gue yang paling baik."

"Yakin cuma sahabat?" Dia memicingkan matanya

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

"Yakin cuma sahabat?" Dia memicingkan matanya.

"Iyalah. Inget! Sahabat dilarang jatuh cinta!"

Sadam terkekeh. "Lo yakin?"

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum