EMPAT BELAS

492 92 15
                                    

"Bri...," teriakan Sadam dari ruang keluar tamu melengking sampai ruang makan. Aku yang tengah membantu Tante Gina menyiapkan makan siang hampir saja menumpahkan air saat menuang ke dalam gelas. "Hape lo nih geter mulu dari tadi. Ganggu gue tidur aja."

Aku mendesah. Rupanya dia tertidur sedari tadi. Pantas saja suasana rumah hening sekali. Hanya ada suara alat masak yang saling beradu sedari tadi.

"Siapa, Dam?"

"Aduh, Bri. Gue enggak bisa melek. Lo lihat aja sendiri. Gue enggak bisa gerak ini."

Aku meletakkan gelas terakhir di sisi piring yang kosong, lalu menuju ruang tamu. Kini aku sedang berada di rumah Sadam. Belajar kelompok tentunya adalah alasan klise yang kugunakan untuk menghindari suasana rumah yang semakin kelam. Aku penat terlalu lama di sana. Melihat sikap dingin Mama dan mendapatkan tatapan tak mengenakkan dari Mia hanya ingin membuatku menangis.

Maka, inilah yang menjadi tempat pelarianku, selain sekolah. Tante Gina tentunya menerimaku dengan tangan terbuka. Entah apa yang dikatakan Sadam kepada ibunya perihal diriku setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Aku hanya butuh sosok ibu saat ini.

Kuambil ponsel di meja dan duduk di sofa tepat di sisi kiri Sadam. Dia benar-benar tertidur. Kebiasaannya tidak pernah berubah. Sesaat keningku mengernyit melihat nomor yang tak dikenal tertera di layar. Dengan ragu, aku menjawab teleponnya, "Ha-halo."

"Halo. Apa bener ini nomernya Sabrina?"

"Iya, ini Sabrina. Ini siapa, ya?"

Terdengar tawa renyah dari seberang sana. "Aku kira kamu ngasih nomer orang lain ke aku."

Kerutan di keningku semakin dalam. "Siapa, sih?" Suaraku semakin terdengar ketus.

"Sorry, Bri. Ini aku, Adera. Masih inget, kan?"

Aku mengembuskan napas lega. "Ohh, Kak Dera. Kukira tadi siapa. Maaf aku enggak ngenalin suara Kakak." Aku melirik ke arah Sadam. Takut dia terganggu. "Hmm, sebentar ya, Kak." Aku hendak bangkit untuk keluar, tapi jemari Sadam tiba-tiba menggenggam tangan kananku.

"Sadam, lepasin gue," kataku ketika ponsel sudah kujauhkan dari telinga.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah Sadam mengeratkan genggamannya. Aku mendesah. Tumben sekali Sadam seperti ini.

"Kak, maaf ya. Nanti kuhubungi lagi."

"O iya, Bri. Aku cuma mau ngajak ngajar bareng anak-anak besok. Kebetulan besok itu komunitasku ngadain event membaca dongeng. Kamu bisa enggak?"

"Besok, ya? Hmm," mataku melihat sekilas ke arah Sadam, "nanti malam aku kabarin deh, Kak." Tanpa menunggu lama, aku langsung mematikan ponsel. Urusan meminta maaf kepada Adera nanti malam saja. "Lo kenapa, Dam? Enggak biasanya lo kayak gini."

Sadam tak menjawab. Tapi aku yakin dia mendengarnya.

"Dam, tadi Kak Dera ngajakin ke acara membaca dongeng. Gue ikut, ya!"

"Dera siapa?" tanya Sadam masih dengan mata terpejam.

"O iya. Gue belum cerita soal itu. Sorry." Aku duduk bersandar dan aku mulai menceritakan pertemuanku dengan Adera.

Sadam membuka matanya ketika aku usai bercerita. Raut wajahnya tak bisa kubaca. Tebakanku sepertinya ada sisi tak suka ketika dia mendengar nama Adera disebut. Tapi, kenapa? Apa dia cemburu?

Kuhela napas. "Jadi, apa gue boleh nerima ajakan Kak Dera?"

"Selama kegiatannya itu positif dan bikin lo seneng, ikutan aja."

"Asyik. Thanks, Dam." Senyumku mengembang sambil menepuk-nepuk tangannya. "Eh, tapi lo enggak cemburu, kan?"

Sadam terdiam. Aku sengaja memancingnya agar dia tidak merasa ditinggalkan ketika nanti aku sibuk mengikuti acara tersebut.

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Where stories live. Discover now