TUJUH BELAS

510 84 11
                                    

Kacau, kacau, kacau.

Jalanku tergesa menuju ruang OSIS untuk menemui Sadam. Sekarang pukul 07.30, tapi nyatanya tak ada guru yang masuk ke kelas. Aku pun tak menemukan Sadam di kelas semenjak aku datang. Hanya tasnya saja yang ada di meja. Kata Farish, ketua kelas 11 IIS 1 sekaligus menjabat sebagai wakil OSIS, cowok itu sedang berada di ruang OSIS.

Sejak kejadian dua hari yang lalu, hari Sabtu setelah acara mendongeng itu, aku belum bertemu ataupun berkomunikasi dengannya.

Pikiran dan hatiku tak bisa tenang setelahnya. Dalam perjalanan pulang sehabis membeli kue, suasana senyap yang terjadi di antara kami. Entah mengapa.

Tapi seperti ada perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan. Sedih yang berbeda dengan yang biasanya.

Mungkin karena pertanyaanku yang tak dijawabnya. Yang dia lakukan adalah diam, menatapku lama, mengelus kepalaku, lalu bergabung dengan anak-anak yang lain.

Sampai akhirnya pada saat aku sudah turun dari motornya, aku bilang, "Lo istirahat aja ya, Dam. Enggak usah hubungin gue dulu."

"Kenapa?"

Aku menggeleng pelan. "Tunggu sampe gue dateng ke lo."

Mungkin dengan begitu, aku bisa menenangkan diri dulu. Tapi kenyataan apa yang kudapat beberapa saat setelah kami berpisah?

Aku mendapati Adera di dalam rumah tengah bercengkerama dengan Ayah dan Mama. Ada apa ini?

"Assalamuallaikum," sapaku ketika masuk ke rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Ayah dan Adera. Mama? Entah kenapa raut di wajahnya tak berubah. Sepertinya benci sekali beliau kepadaku. Tapi aku tetap menyalami Mama seperti tidak terjadi apa-apa di antara kami.

"Ma, aku beli cake kesukaan Mama, cake rasa green tea. Mama masih suka, kan? Bri ambilin, ya." Kutunjukkan kantong plastik berisi kue berukuran sedang di tanganku. Aku bersikap baik seperti biasa walau yang kudapat dari Mama hanyalah tatapan tak acuhnya.

Mia muncul dari arah tangga. "Hai, Sayang. Maaf ya kelamaan. Kan aku dandan cantik buat kamu."

"Enggak apa-apa, kok. Kan aku ditemenin sama orangtuamu," jawab Adera.

Oh, jadi mereka pacaran. Tapi kok bisa? Bukan apa. Hanya aku merasa aneh saja. Adera yang notabene pekerja sosial jadian sama Mia yang, entah bagaimana lagi aku menceritakannya. Iya, Mia itu sempurna. Tapi sebaiknya aku tidak ada di sini. Argh....

Aku mundur perlahan hendak meninggalkan mereka.

"Kamu enggak pernah cerita kalau kamu punya adik, lho!"

Perkataan Adera membuatku kembali menatapnya. Aku menggeleng cepat. Jangan, Kak. Jangan!

Aku tidak mau kalau Mia dan Mama tahu kalau kami saling kenal. Keadaannya bisa tambah runyam nanti.

"Oh, iya." Mia menatapku. "Sini, Bri. Kenalan dulu. Dari mana aja sih kamu? Dari tadi dicariin juga."

Dengan enggan aku menghampiri mereka. Lagipula untuk apa mereka mencariku?

"Bri, kenalin ini Adera, calon tunanganku."

Napasku tertahan. Ya Tuhan, apa lagi ini?

Tangan kananku terulur. "Sabrina."

"Iya aku ta-"

Jangan, Kak. Jangan! Kepalaku menggeleng lagi. Kuharap Adera paham maksudku. Aku pun tak mau sampai mereka tahu tempatku menghabiskan waktu seharian tadi bersamanya.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ayah.

"Eh, eng... enggak apa-apa kok, Yah. Cuma sedikit kecapekan aja jadi mataku agak burem tadi."

MAHKOTA KERTAS (terbit Storial)Место, где живут истории. Откройте их для себя