Chapter 16

32.4K 3.4K 13
                                    

Hari ini Chun-lui keluar istana, ia bertujuan untuk kembali ke area pertarungan kemarin. Dengan idenya yang sangat cemerlang Chun-lui menyelinap masuk ke dalam kereta dagang. Kereta dagang ini akan pergi kembali ke pasar setelah mengantarkan dagangannya ke istana.

Chun-lui mengenakan pakaian lelaki, rambut yang di gulung ke atas dan di tutup menggunakan satgat (topi petani), serta tak lupa penutup wajahnya (cadar).

Sekitar 30 menit kereta dagang tadi berhenti, sontak Chun-lui segera keluar dari kereta dengan cepat, tanpa di ketahui sang pemilik.

Butuh waktu 15 menit berjalan untuk sampai di arena pertarungan di tengah desa. Selama di perjalanan Chun-lui terus merenung memikirkan suatu hal yang sampai saat ini sangat susah untuk ia ungkapkan. Tapi Chun-lui berusaha tenang, menghadapi semua yang akan terjadi ke depannya, entah mengapa Chun-lui merasa akan terjadi sesuatu kedepannya.

Langkah Chun-lui terhenti saat melihat di hadapannya ada Taeil anak yang kemarin mencuri perhatian Chun-lui karena kehidupannya yang menyedihkan. Chun-lui sudah memberikan tempat tinggal yang layak bagi mereka yang tinggal di tempat yang kumuh tanpa sepengetahuan kerajaan.

Taeil duduk bersimpuh sambil memohon pengampunan kepada seorang wanita yang sepertinya bukan seorang yang biasa.

"Cuih! Kau pantas mendapatkan hukuman karena sudah tidak tau punya sopan!!!" tukas wanita itu.
Chun-lui pun mendekati kerumunan yang sudah dipertotonton banyak orang.

"Ada apa ini?" tanya Chun-lui pada satu warga di situ.

"Bocah tengil itu membela seorang nenek tua yang menghina putri itu!" jelas warga itu.

"Putri?" tanya Chun-lui tidak mengerti.

"Sepertinya kau orang baru ya? aiya dia itu putri besar, dia anak dari selir pertama, selir besar bernama putri Song-yi. Putri Song-yi baru pulang berguru. Dan saat sampai di pasar ini putri Song-yi singgah sebentar, tapi entah bagaimana putri Song-yi berjumpa dengan sang nenek, sampai ia memaki-maki nenek itu. Katanya itu si nenek berlaku tidak sopan dengan putri Song-yi, hingga datanglah Taeil yang membela sang nenek, ia menentang sang putri dan menyuruh Taeil untuk melakukan sujud sembahnya." Jelas kembali warga itu yang di pahami Chun-lui.

Chun-lui hanya menyunggingkan senyumnya, "Baru anak selir rendahan sudah berlaku bak seorang putri kerajaan anak permaisuri!" tukas Chun-lui yang di dengar warga tadi.

"Hey mulutmu jangan berkata seperti itu kalau kau tak ingin kepalamu hilang!" tukas warga itu.

"Tidak ada yang bisa menyakitiku seujung kukupun, termasuk dia putri sombong dan angkuh itu sekalipun. Aku heran kenapa seorang bangsawan kebanyakan angkuh dan sombong dengan kedudukannya!" tukas Chun-lui.

Sedangkan warga tadi tampak berfikir, ia membenarkan kata orang asing itu juga. Tetapi menyalahinya juga karena bagaimanapun dia itu seorang yang memiliki jabatan tinggi yang wajib di hormati, apalagi orang itu seperti putri Song-yi yang merupakan anak bangsawan keturunan kaisar Yi, ini juga sudah tradisi mereka turun temurun untuk menghormati para petinggi-petinggi yang ada.

"Pelayan Bongpal, Boram!" teriak putri Song-yi.

Dua orang pelayan laki-laki datang tergopoh-gopoh. "Cepat cambuk bocah ini sebanyak 200 kali, bersama nenek tua itu!" titah Song-yi yang di tunduki sang pelayan.

Heir To The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang