[9] hujan-hujan sore begini emang enaknya makan mie sih

1.4K 327 324
                                    

Sejak jam tiga sore hujan mengguyur deras wilayah kami, kalau dihitung, ini sudah sekitar 30 menit lamanya. Mama belum pulang lantaran meeting dadakan memanggil padahal beliau sudah bersikeras untuk melakukan video call meeting, tapi karena penting, mau gak mau harus pergi. Biasanya juga langsung caw saja sih tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, tapi gara-gara aku kali, ya? Rasanya sudah ke seribu kalinya, aku bilang, plis Ma aku gak papa, tetap saja orangnya keras kepala.

Mau menyalakan televisi, tapi gak ada tontonan bermutu yang bisa ditonton. Lihat siluet ponsel yang tergeletak naas di karpet bawah sofa saja sudah ingin muntah karena berbagai pesan ala-ala obat penenang tak kunjung berhenti. Bosen. Jadi ... habis ini apa? Nunggu hujan berhenti terus jalan-jalan sekitar kompleks kali, ya?

Tubuhku tersentak kaget saat ketukan keras di pintu utama bergema sampai ruang tamu, tempo ketukannya cepat sekali sampai aku berdecak sebal dan teriak, "Iya! Tunggu sebentar!" Kemudian saat berhasil memutar kenop pintu yang ada seorang manusia sotoy langsung menyerbu ke dalam tanpa ucapan salam hanya teriakan, ah! Panas! Panas!

"Kak Hoseok, buset, ngapain—"

"Heh! Itu hape gak ada fungsinya kali, ya? Di WA, di sms, di misscall, gak ada respon apapun," lah, kenapa Kak Hoseok jadi ngomel-ngomel gini sih? Tangannya berkacak pinggang kayak Mama kalau sudah kambuh penyakit emak-emaknya. Sayangnya, saat aku baru mau niat ngomel balik tapi pandanganku jatuh kepada piring yang di atasnya ada asap menyeruak.

"Mie?"

Dia mengusap bajunya yang sedikit basah di bagian bahu, "Bukan, ini samyang."

"Samyang kan ... mie?"

"Bukan mie biasa."

"Mie yang gak biasa tuh, yang kayak gimana?"

"Yang kayak samyang."

Jidatku berkedut, kayaknya otak aku lagi demo mau keluar. Ada gak ya hari tanpa keinginan untuk bully Kak Hoseok.

Dia menyahut lagi saat aku gak punya tenaga untuk membalas, "Mie yang bumbu cabenya banyak terus Pprsinya juga gede."

Semoga energi bully aku menghilang seusai menekan pintu agar tertutup sempurna, "Terus?"

"Ayo makan bareng, aku gak kuat makan sendirian." Kak Hoseok menyengir, "Eh, ada telor gak? Mami belum beli telur, jadinya samyangnya kopong banget gak ada telur."

"Mau rebus telornya?"

"Iya, dong."

"Gak usah lah," aku membantah lalu menghampiri mie yang tergeletak manis di atas meja, menelan ludah akibat bau mie yang memang bikin orang penyakitan ingin mencicip. "Kelamaan Kak, nanti keburu dingin, gak asik."

"Yaudah dah, nasi ada?"

"Weh, kombinasi yang luar biasa." Aku mengangguk bangga dan Kak Hoseok menungguku untuk melakukan fist bump sebelum mengambil nasi di piring lain beserta garpu untuk kami berdua.

Di suapan ke-6 Kak Hoseok terkekeh sendiri melihat wajahku yang katanya kemerahan karena kepedasan dan aku sendiri tidak mau kalah untuk bersorak karena menotis ingus Kak Hoseok hampir meler karena kepedasan juga. Porsi nasi yang diambil sedikit pun menjadi total satu piring setelah kami sepakat untuk menambah sebanyak lima centong. Niat aslinya untuk meminimalisir rasa pedas dan panas samyang yang Kak Hoseok buat, tapi melihat Kak Hoseok yang mengeluarkan sendawanya dan keadaan mie bahkan masih seperempat piring, kita baru sadar nasi yang diambil justru memperburuk keadaan.

"Jangan minum air mulu, dong."

Lupa, satu tuppeware besar berisikan air dingin bahkan sudah habis oleh kami.

[SUDAH TERBIT] sore, hoseok !Where stories live. Discover now