Part 5: when love calls she to meet unkonwn men

614 88 136
                                    

"Fira! Berbarislah dengan benar!"

Fira mengerang dan mulai menyejajarkan posisi dengan barisan di sampingnya. Meski sudah memilih tempat strategis-tepat di belakang gadis tinggi itu-tidak membuat Fira terlepas dari sengatan panas matahari di pagi hari.

Melihat pak guru di depannya menceramahi mereka setelah terlambat berbaris, dengan kumis yang bergerak seirama mulut mengeluarkan suara lantang membuat Fira mulai menggerutu dalam hati. Rasanya Fira ingin pura-pura pingsan lalu mengungsi ke UKS saja.

Baju olahraga yang dipakainya sudah basah oleh keringat--meski Fira tidak melakukan apa pun. Tubuhnya pun ia condongkan ke depan, mengemis bayangan gadis tinggi yang tidak diketahui namanya itu agar terik matahari tidak langsung mengenainya.

Harusnya Fira tetap di rumah hari ini! Fira sangsi. Menggerutu lagi walau tanpa suara atau gerakan apa pun.

Tangannya terangkat menyeka keringat di kening. Penjelasan Pak Rama-guru olahraganya itu tidak lagi mampir di pendengaran. Fira terlalu sibuk dengan pikiran sendiri. Fira jadi semakin yakin, seharusnya dia tidak masuk sekolah hari ini. Sayangnya Fara tahu Fira sudah sembuh dan menyeretnya ke sekolah pagi tadi. Dasar adik durhaka.

"Karena itu praktek kali ini hanya lari. Dan untukmu, Fira. Karena kamu baru saja sembuh, kamu hanya perlu keliling lapangan satu kali. Jadi jangan mengeluh dan cepat kerjakan! Mulai dari barisan paling depan, cepat lari!"

Sebuah peluit dibunyikan, barisan paling depan mulai berlari. Berbeda dengan Fira yang mematung di tempat. Gurunya itu pasti bercanda. Fira dalam keadaan baik saja hanya bisa menyelesaikan dua putaran dalam 15 menit. Sekarang dia harus mengelilingi lapangan ini dalam keadaan baru sembuh? Pasti bercanda!

Tanpa ia sadari, sudah masuk gilirannya untuk berlari. Fira cepat-cepat menoleh pada Pak Rama. Siapa tahu ia bisa mendapatkan keringanan kali ini. Namun, Pak Rama sama sekali tidak peduli.

Keringat kembali membasahi keningnya. Lapangan sekolahnya itu cukup besar. Seingatnya lapangan ini memiliki panjang dua puluh dua meter, dan lebar delapan belas meter. Hal itu berarti, keliling lapangan ini bisa dicari dengan menambahkan panjang dan lebar, lalu dikalikan dua.

Otak Fira mulai menghitung, hingga ia membuka mulut tak percaya. "Delapan puluh meter, astaga...." Fira meneguk ludah. Matanya menutup lalu mengambil napas.

Pertama, Fira bisa menggunakan rumus kecepatan untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk menem--

"Kenapa malah bengong, Fira? Cepat lari!"

Fira tergagap-gagap. Melihat wajah Pak Rama yang sepertinya tidak akan memberikan keringanan membuatnya mengerang, memutuskan untuk berlari. Rasanya sedikit kesal juga. Mengapa pelajaran olahraga itu harus ada? Kewajibannya mengikuti pelajaran sebagai murid ini rasanya mengurangi keakreditasian Fira dalam menjadi orang malas! Reputasi Fira sebagai pemalas tercoreng kali ini.

Fira mengerucut bibir sebal. Sengaja diambilnya rute garis lapangan paling dalam, bukan cuma untuk mengurangi jarak yang harus ditempuh, dia juga tidak ingin bertabrakan dengan siswa lain yang terlihat ganas saat berlari.

Hanya dalam beberapa menit, Fira berhenti. Tubuhnya mulai kelelahan. Tangannya bertopang pada lutut agar tetap berdiri. Mulut dan hidungnya secara bergantian mengambil napas banyak-banyak. Setelah sudah cukup stabil, dia menoleh ke belakang lalu meringis. Fira bahkan belum berlari seperempat dari panjang lapangan.

Fira menyeka peluh yang semakin banyak. Kalau begini, dia bisa pingsan sungguhan.

"Oi, sampai kapan kau akan berdiri di situ?"

Fira menoleh dan mendapati seorang laki-laki berjongkok dan membenarkan tali sepatu tepat di sampingnya. Laki-laki itu memakai baju olahraga, yang berarti mereka pasti sekelas. Sayang, Fira sama sekali tidak peduli dan tidak tahu siapa laki-laki itu.

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now