Part 22.1: when love calls she to get that kindness from him

393 61 43
                                    

Warning! Bablas 2704 kata! Siapkan waktumu untuk membaca part panjang ini. Hope you enjoy it!^^

***

Cahaya di langit berubah menjadi warna menjadi sedikit lebih oren. Gadis itu menatap lamat-lamat ke arah langit, tanpa satu kata pun terucap darinya atau pun laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu seakan paham, si gadis masih memerlukan waktu sendiri, dan menenangkan pikirannya. Setelah hampir sepuluh menit dalam keadaan hening, Fira melihat ke arah jam di tangan kanannya.

Pukul lima kurang lima belas menit. Fira mengerjap, segera berdiri dan membersihkan debu di roknya. Saat mata ia dan Afandi bertemu, Fira langsung memberi seulas senyum. Memberi kode agar Afandi juga cepat berdiri. "Kita harus ke suatu tempat, sebelum jam lima tepat."

Afandi terdiam sebentar sebelum ikut berdiri. Sebuah helaan napas keluar dari sana. Tangannya langsung masuk ke kantong almameter miliknya. Laki-laki itu sempat menatap langit sebelum kembali menatap Fira dengan tatapan—yang entah kenapa—terlihat marah. "Kamu sengaja membiarkan mereka menyiksamu, agar dapat langsung melaporkannya pada guru, kan?"

Kini Fira yang segera terdiam. Mulutnya seakan ditutup rapat, dan ada sebuah kunci tak kasat mata yang menyegelnya untuk tidak mengatakan pembelaan atau pun pengakuan tentang apa yangbterjadi. Namun, tatapan tajam yang mengarah tepat ke arahnya itu tidak bisa dihindari. Fira memalingkan wajah, berharap bisa lepas dari tatapan penuh tuduhan dan amarah itu.

"Hanya dengan bukti nyata, mereka tidak bisa berdalih. Guru juga tidak bisa diam jika sudah melihatku begini. Geng itu akan mendapat hukuman yang sepantasnya."

Afandi membuka mulut hanya untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Wajahnya di palingkan ke segala arah berkali-kali dengan rahang yang mengeras. Di detik berikutnya, Afandi melangkah maju mendekati Fira dengan aura menakutkan yang baru Fira lihat pertama kali—hingga secara refleks, gadis itu melangkah mundur, menjauhi laki-laki itu.

Fira baru berhenti saat punggungnya telah bersentuhan langsung dengan dinding gudang. Afandi tepat dua langkah di depannya, dan sedang menatap dengan aura menakutkan. Dia marah. Namun, Fira sama sekali tidak tahu mengapa Afandi bisa menunjukkan wajah semarah itu di hadapannya. Apa Fira telah melakukan sesuatu yang membuatnya marah?

"Apa kamu terpikir, bagaimana kalau mereka melakukan sesuatu yang lebih mengerikan dari ini, dan akhirnya merugikan dirimu sendiri? Mereka berlima," tekan Afandi di setiap kata yang ia ucapkan. Matanya semakij tajam. Wajah yang mengatakan, seharusnya Fira lebih berhati-hati dan tidak mengorbankan diri sendiri dalam hal berbahaya semacam ini.

Gadis itu ingin segera melangkah mundur kalau saja bisa. Tatapan itu benar-benar membuatnya tak berkutik. Ia juga merasa kaget, dia tidak menyangka Afandi akan mengatakan sesuatu semacam ini. Fira sekarang mulai mengerti mengapa laki-laki itu memarahinya, hingga ia hanya bisa menundukkan kepala penuh penyesalan. "Tentu aku tahu, itu risiko. Aku sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk semacam itu."

Fira mendengar decakan keras dari laki-laki itu. Tangan kanannya ditarik hingga jarak mereka tidak lebih dari satu langkah. Hal itu membuat Fira segera mendongak hanya untuk menatap wajah kelewat serius milik Afandi.

Fira hanya bisa terdiam. Sama sekali tidak menyangka, ia akan melihat raut marah yang seperti ini dari Afandi yang biasanya datar tanpa ekspresi. Tatapannya masih berada di sana, terkunci dalam pandangan penuh amarah milik Afandi. Tangannya yang ditatik terasa sedikit sakit, saat laki-laki itu mengeratkan pegangan. Fira membatu, tanpa bisa melawan atau pun mengucapkan protes.

"Kamu sendiri yang bilang kalau kita rekan, bukan? Tapi kenapa kamu membiarkan dirimu sendirian terjebak dalam kekacauan ini?" tanya Afandi dengan suara yang serak. Fira bisa melihat, kilatan amarah di mata laki-laki itu kini berganti. Namun, Fira … ragu menyimpulkan untuk menyimpulkan tatapan macam apa yang Afandi berikan itu. Karenanya, Fira hany diam hingga Afandi kembali melanjutkan ucapannya, "Kamu pikir aku tidak akan merasa bersalah jika kamu terluka karena drama menyedihkan seperti ini? Bahkan jika aku tidak terlibat, kita sama-sama tahu mengapa mereka melakukannya padamu."

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now