Part 19.1: when love calls she to get a 'special presend'

370 65 23
                                    

Pagi baru adalah semangat baru!

...

Omong kosong.

Siapa yang mengatakan istilah hoaks begitu? Pagi baru adalah saatnya untuk menyesali mengapa malam terlalu cepat berlalu dan pagi terlalu suka membuatnya menderita. Mengapa tidur delapan jam lebih serasa beberapa menit dan duduk di atas ranjang beberapa menit rasanya sangat lama. Ini konspirasi. Apa ia perlu bertanya pada Einstein untuk mengetahui kenapa relatifitas waktunya jadi begitu lambat saat ia terjaga dan begitu cepat saat tertidur?

Namun, meski ia memulai hari dengan beberapa rutukan di pagi ini, Fira tetap memaksa tubuhnya untuk bangun. Meski matanya terasa sangat berat dan tubuhnya serasa di kunci di tempat, ia menyeret tubuh menuju ujung kasur. Dan yang paling penting, ia bangun bukan karena Fara membangunkan, melainkan karena Fira telah menyetel alarm di ponselnya malam tadi.

Catat dan garis bawahi itu. Fira bangun sendiri tanpa disuruh Fara hari ini.

Heh, Fira harus dapat penghargaan kalau begini. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia berinisiatif bangun lebih pagi, sebelum Fara membangunkan lalu berjalan ke kamar mandi meski tahu air dingin akan menyapa kulitnya dan suhu di pagi hari bisa membuatnya menggigil hari ini. Benar-benat sebuah rekor.

Dalam waktu lima belas menit, Fira selesai mandi dengan tubuh menggigil. Mulutnya terasa bergetar hingga ia mekilih memakai berlapis-lapis baju di balik seragam putihnya. Ia memandangi seragam yang telah rapi disetrika. Lain kali, ia juga harus melakukan hal itu sendiri. Tidak ada yang namanya malas-malasan lagi. Ia sudah berjanji untuk hidup lebih baik untuk adiknya dan Fira sama sekali tidak berniat melanggarnya meski itu berarti membuat waktu malasnya menciut entah sampai seberapa kecil.

Fira keluar dari kamar bersama dengan tas dan balutan jaket lagi di luar seragam. Kulitnya belum bisa menyesuaikan diri dengan suhu dingin di pagi hari. Ia berpas-pasan dengan Fara yang juga sudah siap dengan baju seragam dan tasnya. Saat mata mereka berpapasan, Fara langsung membeku dengan mulut mengaga lebar. Tas terlepas dengan dramatis lalu tangan terangkat untuk menutup mulut. Seakan, Fara sedang melihat hantu tepat di depan matanya. Atau bahkan lebih mengerikan dari makhluk astral itu.

Sungguh tidak sopan. Seakan Fara tidak pernah melihat Fira begini saja. Namun, tunggu. Fira memang tidak pernah, ya?

Fira menghela napas saat Fara tidak segera memberi reaksi dan akhirnya menuruni tangga lebih dulu. "Jangan bereaksi berlebihan begitu. Aku semakin merasa jadi kakak yang tidak berguna, tahu."

Fara dengan cepat ikut menuruni tangga. Fira bisa merasakan tangan kembarannya memeluknya singkat lalu memberi ciuman di pipi. "Tidak. Kakak adalah kakak terbaik. Berhenti merendahkan diri sendiri."

Setelah mengatakannya, Fara mengambil langkah lebih cepat dan menuju ruang tamu untuk meletakkan tas. Tanpa sadar, Fira mengulum senyum. Memang, membiasakan diri untuk mandiri akan sangat sulit untuknya. Namun, melihat adiknya begitu senang juga ikut membuatnya begitu. Bahkan jika sulit, akan Fira lakukan untuk adiknya.

Pagi itu, akhirnya Fira memasak untuk pertama kalinya. Karena Fira sama sekali tidak punya pengalaman, Fara hanya menugasinya hal-hal kecil seperti mencuci sayuran dan memotongnya. Sisanya, Fira disuruh mengamati dulu agar lain kali bisa melakukannya dengan lebih baik.

Bagaimana pun dilihat, Fira rasanya tertinggal jauh dengan adiknya. Ditinggal berdua sejak kecil membuat Fara berinisiatif untuk belajar melakukan pekerjaan rumah untuk menggantikan ibunya, sedangkan biasanya Fira mengatur persediaan uang yang diberikan ayah mereka. Ibu Faiz, yang mendapat amanah dari ayah untuk menjaga mereka saat ia sedang bekerja juga berjasa besar hingga Fara bisa jadi begitu mandiri sekarang ini. Ringkas kata, Fara sudah mendapat predikat calon istri idaman di umurnya yang masih sangat muda.

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now