Part 15: when love calls she to feel so hurt, because she was too hopeful

421 64 48
                                    

“Kamu sahabat kecilnya Faiz, kan?”

Fira mendongak sedikit, setelah sebelumnya agak canggung duduk berdua tanpa mengeluarkan suara lagi setelah ditinggal Faiz, akhirnya gadis di sampingnya mencoba mencairkan suasana. Walau, sungguh, hal tersebut nampaknya sia-sia. Fira terlalu suok setelah Faiz mengenalkan gadis cantik dengan sebuah tongkat di tangan sebagai pacarnya.

Mereka sedang duduk di kursi panjang berwarna putih mengilap milik Panti Asuhan Tunanetra Bina Harapan, menikmati suasana asri sekitar--yang sebenarnya tidak bisa Fira lakukan karena terlalu terkejut--sedangkan Faiz berada di bagian lain taman. Sedang bermain dengan beberapa anak panti asuhan.

Awalnya, Fira hanya ingin mengangguk menanggapi pertanyaan basa-basi itu, tanpa mengeluarkan suara yang pastinya parau dan bergetar saat ini. Namun, ia tersadar, Gladis tidak akan melihat hal itu. Akhirnya Fira membuka mulut paksa untuk mengucapkan kata 'ya' lirih.

Fira kembali menutup mulut rapat. Kepalanya tengah digerayangi begitu banyak pertanyaan setelah Faiz mengenalkan sosok pacarnya. Matanya terasa panas. Dadanya sesak, dan rasanya ada gemuruh aneh di dalam sana--tepat di dasar hatinya.

Mengapa Fira merasa sangat hancur saat melihat senyum yang Faiz berikan pada Gladis?

Fira tidak tahu. Perasaannya jadi begitu aneh. Faiz datang dengan sebuah pernyataan tidak disangka, dan Fira belum siap menerimanya. Hatinya teramat sakit. Hingga rasanya, Fira ingin marah pada Gladis--bahkan jika gadis itu tidak melakukan apa-apa.

Bukankah itu aneh? Sebenarnya, Fira kenapa?

Fira terdiam. Rasanya, sisa-sisa keterkejutan itu masih ada hingga ia hanya bisa diam dan bertanya dalam hati. Mengapa Fira merasa begitu marah? Apa karena Gladis mendapatkan apa yang ia damba? Mendapatkan kasih sayang Faiz dan status pacar? Rasanya, itu tidak masuk akal.

Bahkan jika Gladis yang berhasil membuat Faiz terpikat, Fira tidak bisa menyalahkannya. Tidak ada yang patut disalahkan selain Fira sendiri yang terlalu berharap. Fira menepuk dadanya ringan, berusaha tidak ketahuan gadis di sampingnya dan menenangkan diri sendiri. Namun sayang, rasanya tetap sakit. Adakah obat yang dapat menyembuhkannya dari gejala mengerikan ini?

Fira menghela napas tanpa suara, lalu melirik sedikit ke arah Gladis. Ada gurat khawatir dan gugup di sana. Emtah karena apa. Tangannya berapa di atas paha terlihat gelisah, saling menggenggam, lalu melintir bagian rok yang panjang sampai di bawah lutut. Fira lalu beralih melihat arah lain. Sungguh, entah mengapa semua perasaan terkumpul di dadanya saat ini. Ia ingin menangis, lalu juga marah. Dia ingin segera pergi dari sini, lalu meringkuk dan berdiam diri di kamar seharian. Ia kecewa—tidak, bukan pada Faiz. Namun, pada dirinya sendiri yang berharap terlalu banyak.

Sudah pasti Faiz hanya menganggap Fira dan Fara sebagai sahabat kecil, lalu mengapa ia masih saja mengharapkan lebih? Fira tertunduk, lalu memegang dadanya yang semakin sesak. Rasanya sulit untuk bernapas. Rasanya, oksigen di udara ini menghilang secara magis dan Fira tidak bisa melakukan apa pun selain menarik napas panjang untuk mengais sisa oksigen.

“Maaf.”

Fira mendongak sedikit. Gladis tidak menatapnya, tapi Fira tahu permintaan maaf itu untuknya. Padahal, Fira yakin Gladis tidak bisa melihat perubahan raut wajahnya. Tidak mungkin ia tahu Fira sedang amat bersedih. Jadi, untuk apa ia meminta maaf? Kenapa Galdis terlihat sedih dan ingin menangis juga?

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now