Part 6: when love calls she to be a selfish girl

534 85 72
                                    

“Jadi, bagaimana hari ini?”

Fira memiringkan kepala. Kurang paham maksud pertanyaan dari gadis yang sedang mengeringkan rambutnya itu. Matanya melihat ke arah cermin, Fira bisa melihat Fara dari sana. Setelah beberapa detik, Fira baru ingat lalu menggeleng kecil. “Tidak ada.”

Tangan Fara berhenti sebentar. Gadis dengan rambut lurus tergerai sepinggang itu mengerucut bibir kurang suka, “Aku sudah memberi kalian ruang! Kenapa kakak tidak mendekati Faiz?”

Fira tidak membalas dan memilih menutup mata. Dia biarkan adiknya itu mendumel tepat di belakangnya. Kalau diingat-ingat lagi, ini hari Rabu--yang berarti jadwal Fira untuk mendekati Faiz. Namun, seperti yang pernah ia katakan dulu, Fira sama sekali tidak tertarik untuk memperjuangkannya. Terlalu merepotkan, dan lagi, memang apa yang bisa Fira lakukan?

Memperjuangkan untuk hidupnya sendiri saja dia kesusahan. Dan lagi ... Fira terdiam. Mengingat kejadian tadi siang saat tiba-tiba Afandi datang dengan membawa kabar yang sama merepotkannya dengan perjanjian itu.

Fira mengerut dahi, matanya masih betah tertutup. Entah mengapa hidupnya jadi begitu merepotkan akhir-akhir ini. Mungkinkah ini karma karena Fira hanya bermalas-malas seumur hidupnya? Ah, tolong. Paling tidak Fira masih menjalankan tugasnya sebagai pelajar! Kalau memang karma, seharusnya diberikan pada yang lebih berhak. Fira mendumel dalam diam.

Terlalu banyak melamun, Fira baru sadar saat dirasakan Fara menggeser tubuhnya hingga mereka berhadapan. “Kak Fira, buka matanya.” Fira membuka mata dan mendapati adiknya sedang menyodorkan sebuah kertas.

Fira mengamati adiknya, menanyakan maksud Fara memberinya kertas itu. Namun, Fara tidak memberi reaksi apa pun. Akhirnya Fira beralih membaca tulisan yang tercetak di situ. “Laporan harian ... hari pertama Fara mendekati Faiz.”

Fira diam sebentar. Memproses kata-kata yang tertera di kertas itu.

Tunggu.

Laporan harian? Fara mendekati Faiz?

.... Dia benar-benar membuatnya?

Fira terlalu terkejut hingga untuk beberapa menit berikutnya, dia hanya bisa terbengong-begong. Fira tidak menyangka Fara akan dengan senang hati menulis laporan seperti ini. Maksud Fira, bukankah perjanjian di antara mereka itu cuma permainan? Ya ampun, kenapa Fara jadi begitu serius masalah seperti ini?

Kalau begini, rasa-rasanya Fara bisa saja dinobatkan sebagai Miss paling kurang kerjaan sepanjang sejarah!

“Fara ... kamu kehilangan kewarasan, ya?”

Fira menatap adiknya serius. Tangannya terangkat untuk memastikan suhu tubuh adiknya. Suhunya normal. Berarti memang yang salah ada pada otaknya. Fira menghela napas. Tolong kembalikan adikku menjadi normal.

Fira kembali memperhatikan wajah Fara saat gadis itu menepis tangannya pelan sambil mengerucut bibir. Wajahnya sedikit memerah dan pandangan ia palingkan ke arah lain.

“Aku enggak sakit, Kak! Emangnya ada yang salah dari laporan itu? Karena isinya tentang Faiz ... aku jadi kebablasan dan buat laporannya sepanjang itu. Emang salah?”

Tentu saja salah!

Fira mengurut kepalanya yang tiba-tiba pusing. Seakan godam besar menghantam kepalanya. Suara gong imajiner yang bergaung di telinganya bisa saja membuatnya benar-benar hilang kesadaran. Kalau Fara bisa serajin ini, tolong berikan kakakmu ini sedikit sifatmu! Fira menghela napas gusar.

“Enggak usah kayak gitu. Sekarang, ayo buat laporan punya kakak! Seharusnya terjadi sesuatu seharian ini kan?”

Tanpa disuruh, Fara menyodorkan laptop tepat ke arahnya hingga Fira menerima benda itu dengan terpaksa. Fira diam. Tangannya dengan enggan mengetik di atas papan keyboard. Tidak sampai lima menit, Fira mengaku selesai mengetikkan laporannya.

When Love Calls [END]Where stories live. Discover now