Part 21.2: when love calls she to realize that ask the help to someone is'nt bad

378 54 18
                                    

Terdapat sebuah adegan tidak patut ditiru, jadilah pembaca yang bijak.

***

"Gunting."

Suara itu berhasil membuat tubuh Fira meremang. Gadis berambut merah mendekatinya dengan langkah yang disengaja lambat. Fira terus berusaha, tapi ikatan yang berada di pergelangan tangannya tidak bisa dilepas. Bisa dipastikan sekarang, bagian yang terlilit tali itu telah berwarna merah sekarang. Namun, bukan hal itu yang bisa ia khawatirkan saat ini. Gadis berambut merah berjalan menuju belakangnya. Seakan tidak ingin membuat Ratu-nya terhalang melihat pemandangan paling menghibur daripada stand up mana pun.

Mereka gila. Fira hampir saja berteriak. Menertawakan penderitaan orang lain, hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak waras, dan mereka adalah salah satunya.

Fira merasakan akar rambutnya kembali ditarik dengan paksa hingga kepalanya ikut mendongak sangat tinggi—ia bahkan bisa melihat ke arah langit-langit bangunan di atasnya dengan jelas sekarang. Namun, bukan langit-langit usang itu yang Fira tatap dengan tajam. Namun mata gadis berambut merah itu. Ia dengan sengaja memposisikan dirinya hingga berada dalam jarak pandang Fira, lalu ujung bibirnya naik beberapa senti hanya dengan melihat rekasi tidak suka gadis itu.

Fira mendecak pelan. Suara gesekan besi tajam dan rambutnya terasa menyayat gendang telinganya. Fira menutup mata. Ia tidak ingin terlihat lemah. Namun, bukankah ini keterlaluan?

Semakin Fira berusaha mengatur napas, gadis berambut merah itu semakin menarik rambutnya. Suara gunting tepat di sebelah telinganya. Ia bisa merasakan sedikit demi sedikit benda yang sering disebut 'mahkota wanita' itu dipotong sangat pendek, tanpa ampun. Telinga Fira penuh oleh suara tawa yang saling bersahutan. Tangan-tangan jahil memukul kepalanya berkali-kali dari samping, hingga anggota badannya itu hanya bisa mengikuti arah pukulan dengan lemas.

"Kenapa sekarang diam? Ke mana perginya mulut pedas itu? Dasar tidak berguna!"

Fira memilih mengunci mulutnya rapat. Tangannya terus berusaha membebaskan diri, tapi gagal. Suara gesekan besi berhenti. Semua orang dalam ruangan itu tertawa, kecuali Fira. Gadis yang berada di samping kanannya kembali—dengan tidak sopan—memaksa kepalanya yang terkulai lemas untuk ditegakkan dengan cara menarik ujung rambutnya yang sudah sangat pendek. Lalu dari sisi kiri, sebuah tamparan mengenai pipinya.

"Cepat buka matanya! Lihat betapa cantiknya dirimu sekarang!"

Fira membuka matanya perlahan. Tepat di depannya sekarang, ada sebuah kaca kecil yang merefleksikan dirinya dari ujung kepala sampai dada. Fira melihat rambutnya yang kini begitu pendek dengan potongan yang sangat acak. Pendek panjang tak teratur dengan rambut paling pendek menyentuh dekat telinganya. Fira kembali menutup mata setelahnya. Tidak ingin lebih sakit hati karena melihat dirinya sendiri yang kini sangat kacau.

"Heh, jangan harap Afandi akan menyukaimu sekarang." Gadis di depannya tertawa keras sebelum melanjutkan, "Ah, tapi kenapa kamu terlihat bosan? Kamu tidak menyukai permainan yang satu ini?"

Fira tidak menjawab pertanyaan itu. Ia bahkan tidak berniat membalas tatapan gadis di depannya. Namun, gadis berambut biru itu tidak peduli. Ia hanya ingin mempermainkan Fira, hingga memilih kembali mulai bermonolog, "Tenang saja. Permain belum berakhir, kok," katanya dengan nada seperti sedang menenangkan bayi yang sedang menangis—sangat menyebalkan. Fira akhirnya mendongak dan kembali hingga matanya beradu tatap lagi dengan wajah itu. Senyum di wajah gadis berambut biru itu langsung luntur. Rahangnya terlihat mengeras.

"Bagaimana dengan makan panekuk bersama?"

"Ah! Pasti akan menyenangkan!" Yang lain menyahuti. Fira bisa merasakan firasatnya bertambah buruk.

When Love Calls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang